1. fase
pengertian teologis (etika teologis)
2. fase
pengertian ontologis (etika ontologis)
3. fase
pengertian positivis (etika positivist)
4. fase
pengertian fungsional (etika fungsional).”
1.Etika
Teologis
Pada
perkembangan generasi pengertian pertama, semua sistem etika berasal dari
sistem ajaran agama.Semua agama mempunyai ajaran-ajarannya sendiri-sendiri
tentang nilai-nilai, sikap, dan perilaku yang baik dan buruk sebagai pegangan
hidup bagi para penganutnya.Karena itu, ajaran etika menyangkut pesan-pesan
utama misi keagamaan semua agama, dan semua tokoh agama atau ulama, pendeta,
rahib, monk, dan semua pemimpin agama akrab dengan ajaran etika itu.Semua rumah
ibadah diisi dengan khutbah-khutbah tentang ajaran moral dan etika keagamaan
masing-masing.
Bagi
agama-agama yang mempunyai kitab suci, maka materi utama kitab-kitab suci itu
juga adalah soal-soal yang berkaitan dengan etika.Karena itu, perbincangan
mengenai etika seringkali memang tidak dapat dilepas dari ajaran-ajaran agama.
Bahkan dalam Islam dikatakan oleh nabi Muhammad saw bahwa “Tidaklah aku diutus
menjadi Rasul kecuali untuk tujuan memperbaiki akhlaq manusia”. Inilah misi
utama kenabian Muhammad saw.
2.Etika
Ontologis
Dalam
perkembangan kedua, sistem etika itu lama kelamaan juga dijadikan oleh para
filosof dan agamawan sebagai objek kajian ilmiah.Karena filsafat manusia sangat
berkembang pembahasannya mengenai soal-soal etika dan perilaku manusia
ini.Karena itu, pada tingkat perkembangan pengertian yang kedua, etika itu
dapat dikatakan dilihat sebagai objek kajian ilmiah, objek kajian
filsafat.Inilah yang saya namakan sebagai tahap perkembangan yang bersifat
ontologis.Etika yang semula hanya dilihat sebagai doktrin-doktrin ajaran agama,
dikembangkan menjadi ‘ethics’ dalam pengertian sebagai ilmu yang mempelajari
sistem ajaran moral.
3.Etika
Positivist
Dalam
perkembangan selanjutnya, setidaknya dimulai pada permulaan abad ke 20, orang
mulai berpikir bahwa sistem etika itu tidak cukup hanya dikaji dan dikhutbahkan
secara abstrak dan bersifat umum, tetapi diidealkan agar ditulis secara konkrit
dan bersifat operasional. Kesadaran mengenai pentingnya penulisan dalam suatu
bentuk kodifikasi ini dapat dibandingkan dengan perkembangan sejarah yang
pernah dialami oleh sistem hukum pada abad ke-10 di zaman khalifah Harun
Al-Rasyid atau dengan muncul pandangan filsafat Posivisme Auguste Comte pada
abad ke 18 yang turut mempengaruhi pengertian modern tentang hukum positif.
Dalam
perkembangan generasi ketiga ini, mulai diidealkan terbentuknya sistem kode
etika di pelbagai bidang organisasi profesi dan organisasi-organisasi publik.
Bahkan sejak lama sudah banyak di antara organisasi-organisasi kemasyarakatan
ataupun organisasi-organisasi profesi di Indonesia sendiri, seperti Ikatan
Dokter Indonesia, dan lain-lain yang sudah sejak dulu mempunyai naskah Kode
Etik Profesi. Dewasa ini, semua partai politik juga mempunyai kode etik
kepengurusan dan keanggotaan.Pegawai Negeri Sipil juga memiliki kode etika
PNS.Inilah taraf perkembangan positivist tentang sistem etika dalam kehidupan
publik.Namun, hampir semua kode etik yang dikenal dewasa ini, hanya bersifat
proforma.Adanya dan tiadanya tidak ada bedanya.Karena itu, sekarang tiba
saatnya berkembang kesadaran baru bahwa kode etika-kode etika yang sudah ada
itu harus dijalankan dan ditegakkan sebagaimana mestinya.
4.Etika
Fungsional Tertutup
Tahap
perkembangan generasi pengertian etika yang terakhir itulah yang saya namakan
sebagai tahap fungsional, yaitu bahwa infra-struktur kode etika itu disadari
harus difungsikan dan ditegakkan dengan sebaik-baiknya dalam praktik kehidupan
bersama. Untuk itu, diperlukan infra-struktur yang mencakup instrumen aturan
kode etik dan perangkat kelembagaan penegaknya, sehingga sistem etika itu dapat
diharapkan benar-benar bersifat fungsional. Dimana-mana di seluruh dunia, mulai
muncul kesadaran yang luas untuk membangun infra struktur etik ini di
lingkungan jabatan-jabatan publik. Bahkan pada tahun 1996, Sidang Umum PBB
merekomendasikan agar semua negara anggota membangun apa yang dinamakan “ethics
infra-structure in public offices” yang mencakup pengertian kode etik dan
lembaga penegak kode etik.
Itu
juga sebabnya maka di Eropa, di Amerika, dan negara-negara lain di seluruh
penjuru dunia mengembangkan sistem kode etik dan komisi penegak kode etik itu.
Tidak terkecuali kita di Indonesia juga mengadopsi ide itu dengan membentuk
Komisi Yudisial yang dirumuskan dalam Pasal 24B UUD 1945 dalam rangka Perubahan
Ketiga UUD 1945 pada tahun 2001. Bersamaan dengan itu, kita juga membentuk
Badan Kehormatan DPR, dan Badan Kehormatan DPD, dan lain-lain untuk maksud
membangun sistem etika bernegara. Pada tahun 2001, MPR-RI juga mengesahkan
Ketetapan MPR No. VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
5.Etika
Fungsional Terbuka
Namun
demikian, menurut Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu 2012-2017 ini,
semua infra-struktur kode etik dan sistem kelembagaan penegakan etika tersebut
di atas dapat dikatakan sama sekali belum dikonstruksikan sebagai suatu sistem
peradilan etika yang bersifat independen dan terbuka sebagaimana layaknya
sistem peradilan modern. Persoalan etika untuk sebagian masih dipandang sebagai
masalah private yang tidak semestinya diperiksa secara terbuka. Karena itu,
semua lembaga atau majelis penegak kode etika selalu bekerja secara tertutup
dan dianggap sebagai mekanisme kerja yang bersifat internal di tiap-tiap
organisasi atau lingkungan jabatan-jabatan publik yang terkait. Keseluruhan
proses penegakan etika itu selama ini memang tidak dan belum didesain sebagai
suatu proses peradilan yang bersifat independen dan terbuka.
Referensi
:
http://jakartafox.com/dkpp-jadi-pelopor-peradilan-etika-di-indonesia/