Laman

Kamis, 22 Desember 2011

PERJUANGAN KOPERASI DALAM SISTEM EKONOMI TERPIMPIN

PERKEMBANGAN KOPERASI DALAM SISTEM EKONOMI TERPIMPIN

Dalam tahun 1959 terjadi suatu peristiwa yang sangat penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Setelah Konstituante tidak dapat menyelesaikan tugas menyusun Undang-Undang Dasar Baru pada waktunya, maka pada tanggal 15 Juli 1959 Presiden Soekarno yang juga selaku PAnglima Tertinggi Angkatan Perang mengucapkan Dekrit Presiden yang memuat keputusan dan salahsatu daripadanya ialah menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh Tanah Tumpah Darah Indonesia, terhitung mulai dari tanggal penetapan dekrit dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara. Pada tanggal 17 Agustus 1959 Presiden Soekarno mengucapkan pidato kenegaraan yang berjudul
“Penemuan Kembali Revolusi Kita”, atau lebih dikenal dengan Manifesto
politik (Manipol). Dalam pidato itu diuraikan berbagai persoalan pokok dan
program umum Revolusi Indonesia yang bersifat menyeluruh. Berdasarkan
Ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960 pidato itu ditetapkan sebagai Garis-garis
Besar Haluan Negara RI dan pedoman resmi dalam perjuangan
menyelesaikan revolusi. Dampak Dekrit Presiden dan Manipol terhadap
Undang-Undang No. 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi adalah
undang-undang yang belum berumur panjang itu telah kehilangan dasar dan
tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat UUD 1945 dan Manipol.
Karenanya untuk mengatasi keadaan itu maka di samping Undang-Undang
No. 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi dikeluarkan pula
Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1959 tentang Perkembangan Gerakan
Koperasi (dimuat dalam Tambahan aLembaran Negara No. 1907).
Peratuarn ini dibuat sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-
Undang No. 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi dan merupakan
penyempurnaan dari hal-hal yang belum diatur dalam Undang-Undang
tersebut. Peraturan itu membawa konsep pengembangan koperasi secara
missal dan seragam dan dikeluarkan berdasarkan pertimbanganpertimbangan
sebagai berikut :
(1) Menyesuaikan fungsi koperasi dengan jiwa dan semangat UUD 1945
dan Manipol RI tanggal 17 Agustus 1959, dimana koperasi diberi
peranan sedemikian rupa sehingga kegiatan dan penyelenggaraannya
benar-benar dapat merupakan alat untuk melaksanakan ekonomi
terpimpin berdasarkan sosialisme ala Indonesia, sendi kehidupan
ekonomi bangsa Indonesia dan dasar untuk mengatur perekonomian
rakyat guna mencapai taraf hidup yang layak dalam susunan
masyarakat adil dan makmur yang demokratis;
(2) Bahwa pemerintah wajib mengambil sikap yang aktif dalam membina
Gerakan Koperasi berdasarkan azas-azas demokrasi terpimpin, yaitu
menumbuhkan, mendorong, membimbing, melindungi dan mengawasi
perkembangan Gerakan Koperasi, dan;
(3) Bahwa dengan menyerahkan penyelenggaraan koperasi kepada
inisiatif Gerakan Koperasi sendiri dalam taraf sekarang bukan saja
tidakk mencapai tujuan untuk membendung arus kapitalisme dan
liberalism, tetapi juga tidak menjamin bentuk organisasi dan cara
bekerja yang sehat sesuai dengan azas-azas koperasi yang
sebenarnya (Sularso 1988, h. VI-VII).
Dalam tahun 1960 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah
No. 140 tentang penyaluran bahan pokok dan penugasan Koperasi untuk
melaksanakannya. Dengan peraturan ini maka mulai ditumbuhkan koperasikoperasi
konsumsi. Penumbuhan koperasi oleh Pemerintah secara missal
dan seragam tanpa memperhatikan syarat-syarat pertumbuhannya yang
sehat, telah mengakibatkan pertumbuhan koperasi yang kurang sehat. Lebih
jauh dari itu Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960 menetapkan bahwa sector
perekonomian akan diatur dengan dua sektor yakni sector Negara dan sector
koperasi, dimana sector swasta hanya ditugaskan untuk membantu. Pada
saat mulai dikemukakan ide pengaturan ekonomi dengan prinsip Demokrasi
dan Ekoomi Terpimpin. Undang-undang No. 79 tahun 1958 tentang
Perkembangan Gerakan Koperasi. Peraturan ini membawa konsep
pengembangan koperasi secara massal dan seragam.

Pada tahun 1961 diselenggarakan Musyawarah Nasional KOperasi I
(Munaskop I) di Surabaya untuk melaksanakan prinsip Demokrasi Terpimpin
dan Ekonomi Terpimpin. Langkah-langkah mempolitikankan (verpolitisering)
koperasi mulai nampak. Dewan Koperasi Indonesia diganti dengan Kesatuan
Organisasi KOperasi Seluruh Indonesia (KOKSI) yang bukan semata-mata
organisasi koperasi sendiri malainkan organisasi koperasi-koperasi yang
dipimpin oleh Pemerintah, dimasa Menteri Transmigrasi, Koperasi dan
Pembangunan Masyarakat Desa (Trasnkopenda) menjadi Ketuanya (Team
UGM, 1984, h.143-144).
Sebagai puncak pengukuhan hokum dari uapaya mempolitikkan
(verpolitisering) koperasi dalam suasana demokrasi terpimpin yakni di
terbitkannya UU No.14 tahun 1965 tentang perkoperasian yang dimuat
didalam Lembaran Negara No. 75 tahun 1960. Salah satu pasal yang
terpenting adalah pasal 5 yang berbunyi :
“Koperasi, struktur, aktivitas dan alat pembinaan serta alat
perlengkapan organisasi koperasi, mencerminkan kegotong-royongan
progresif revolusioner berporoskan Nasakom (Nasional, Agama, Komunis)”.
Dalam memori penjelasannya dinyatakan sebagai berikut :
“Sesuai dengan penjelasan umum perkoperasian (pola koperasi) tidak
dapat dipisahkan dari masalah Revolusi pada umumnya (doktrin Revolusi),
sehingga tantangan-tantangan dari gerakan koperasi hakekatnya merupakan
tantangan daripada Revolusi itu sendiri”
Pengalaman-pengalaman perjuangan kita dalam menghadapi
tantangan-tantangan tersebut, menunjukkan keharusan obyektif adanya
persatuan dan kesatuan segenap potensi dan kekuatan rakyat yang progresif
Revolusioner berporos Nasakom, yang pelaksanaannya diatur dengan
kegotong-royongan antara Pemerintah dengan kekuatan-kekuatan Nsakom.
Selanjutnya peranan gerakan koperasi dalam demokrasi terpimpin dan
ekonomi terpimpin diatur didalam pasal 6 dan pasal 7. Pasal 6 berbunyi
sebagai berikut : “ Gerakan Koperasi mempunyai peranan :
a) Dalam tahap nasional demokrasis :
1. Mempersatukan dan memobilisir seluruh rakyat pekerja dan produsen
kecil yang merupakan tenaga-tenaga produktif untuk meningkatkan
produksi, mengadilkan dan meratakan distribusi;
2. Ikut serta menghapus sisa-sisa imperalisme, kolonialisme dan
feodalisme;
3. Membantu memperkuat sector ekonomi Negara yang memegang
posisi memimpin;
4. Menciptakan syarat-syarat bagi pembangunan masyarakat sosialis
Indonesia.
b) Dalam Tahap sosialisme Indonesia :
1. Menyelenggarakan tata ekonomi tanpa adanya penghisapan oleh
manusia atas manusia;
2. Meningkatkan tingkat hidup rakyat jasmaniah dan rokhaniah;
3. Membina dan mengembangkan swadaya dan daya kreatif rakyat
sebagai perwujudan masyarakat gotong-royong.”
Pasal 7 menyatakan sebagai berikut :
1. “Pemerintah menetapkan kebijaksanaan pokok perkoperasian.
2. Dengan Peraturan Pemerintah diatur hubungan antara gerakan koperasi
dengan Pemerintah, Perusahaan Negara/Perusahaan Daerah dan swasta
bukan koperasi”. Memori penjelasannya menyatakan : “Untuk menjamin
azas Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi Terpimpin kebijaksanaan
perkoperasian ditetapkan oleh Pemerintah”.
Bersamaan dengan disyahkannya UU No. 14 tahuhn 1965
dilangsungkan Musyawarah Nasional KOperasi (Munaskop) II di Jakarta yang
pada dasarnya merupakan ajang legitiminasi terhadap masuknya kekuatankekuatan
politik di dalam koperasi sebagaimana diatur oleh UU
Perkoperasian tersebut. Dalam kesempatan tersebut, juga diputuskan bahwa
KOKSI (Kesatuan Organisasi Koperasi Seluruh Indonesia) Menyatakan
keluar dari keanggotaan ICA.
Tindakan berselang lama yakni dalam bulan September 1965 terjadi
pemberontakan Gerakan 30 September yang didalangi oleh Partai Komunis
Indonesia (PKI) yang terpengaruh besar terhadap pengembangan koperasi.
Mengingat dalam UU no. 14 tahun 1965 secara tegas memasukan warna
politik di dalam kehidupan perkoperasian, maka akibat pemberontakan
G30S/PKI pelaksanaanya perlu di pertimbangkan kembali. Bahkan segera
disusul langkah-langkah memurnikan kembali kekoprasi kepada azas-azas
yang murni dengan cara “ deverpolitisering “. Koperasi-koperasi
menyelenggarakan rapat anggota untuk memperbaharui kepengurusan dan
Badan Pemeriksaannya. Reorganisasi dilaksanakan secara menyeluruh
untuk memurnikan koperasi di atas azas-azas koperasi yang sebenarnya
(murni).





Review Jurnal



Bangsa Indonesia memiliki sejarah penting pada tahun 1959 salah satunya yaitu Presiden Soekarno mengucapkan pidato kenegaraan yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”, atau lebih dikenal dengan Manifesto politik (Manipol). Dalam pidato itu diuraikan berbagai persoalan pokok dan program umum Revolusi Indonesia yang bersifat menyeluruh. Undang-undang yang mengatur tentang perkumpulan koperasi adalah No. 79 Tahun 1958 yang disusul pula peraturan pemerintah No. 60 Tahun 1959 tentang Perkembangan Gerakan Koperasi (dimuat dalam Tambahan aLembaran Negara No. 1907).

Dan peraturan tersebut membawa konsep pengembangan koperasi secara missal dan seragam dan dikeluarkan berdasarkan pertimbanganpertimbangan sebagai berikut :

(1) Menyesuaikan fungsi koperasi dengan jiwa dan semangat UUD 1945

Yaitu dimana koperasi diberi peranan sedemikian rupa sehingga kegiatan dan penyelenggaraannya benar-benar dapat merupakan alat untuk melaksanakan ekonomi
terpimpin berdasarkan sosialisme ala Indonesia. Dan semangat 45.

(2) Bahwa pemerintah wajib mengambil sikap yang aktif dalam membina Gerakan Koperasi berdasarkan azas-azas demokrasi terpimpin, yaitu menumbuhkan, mendorong, membimbing, melindungi dan mengawasi perkembangan Gerakan Koperasi.

(3) Bahwa dengan menyerahkan penyelenggaraan koperasi kepada inisiatif Gerakan Koperasi sendiri dalam taraf sekarang bukan saja tidak mencapai tujuan untuk membendung arus kapitalisme dan liberalism, tetapi juga tidak menjamin bentuk organisasi dan cara bekerja yang sehat sesuai dengan azas-azas koperasi yang sebenarnya (Sularso 1988, h. VI-VII).



Namun pertumbuhan koperasi oleh pemerintah secara masal dan seragam dengan tidak sehat telah menumbuhkan koperasi yang tidak sehat pula. Lebih jauh dari itu Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960 menetapkan bahwa sector perekonomian akan diatur dengan dua sektor yakni sector Negara dan sector koperasi, dimana sector swasta hanya ditugaskan untuk membantu. Pada saat mulai dikemukakan ide pengaturan ekonomi dengan prinsip Demokrasi dan Ekonomi Terpimpin. Undang-undang No. 79 tahun 1958 tentang Perkembangan Gerakan Koperasi. Sehingga Peraturan ini lah yang membawa konsep pengembangan koperasi secara massal dan seragam. Dan pada tahun 1961 diselenggarakannya musyawarah koperasi I di surabaya untuk melaksanakan prinsip Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi Terpimpin.

ekonomi terpimpin diatur didalam pasal 6 dan pasal 7. Pasal 6 berbunyi
sebagai berikut : “ Gerakan Koperasi mempunyai peranan :
a) Dalam tahap nasional demokrasis :
1. Mempersatukan dan memobilisir seluruh rakyat pekerja dan produsen
kecil yang merupakan tenaga-tenaga produktif untuk meningkatkan
produksi, mengadilkan dan meratakan distribusi;
2. Ikut serta menghapus sisa-sisa imperalisme, kolonialisme dan
feodalisme;
3. Membantu memperkuat sector ekonomi Negara yang memegang
posisi memimpin;
4. Menciptakan syarat-syarat bagi pembangunan masyarakat sosialis
Indonesia.



Kesimpulan :

Pada awal terbentuknya koperasi di Indonesia masih belom teroganisir dengan baik namun dengan beberapa kali musyawarah dan pertemuan yang membaahas mengenai hal ini koperasi kita pun mengalami kemajuan meski tidak pesat.



Sumber Referensi :

http://ana-ekonomi.blogspot.com/2010/07/perkembangan-koperasi-dalam-sistem.html



Nama kelompok 2EB10 :

DISTY MEDIAN VANIDA 22210099Ø
FACHRURROZY 22210469Ø
FERIZAH ARINA M 22210742Ø
NIKE APRIANTI 24210978Ø
YULIANA EKA PUTRI 28210752Ø
WIBISONO SUPRAPTO 28210481

Senin, 19 Desember 2011

PERJUANGAN PEMIKIRAN EKONOMI

[Artikel - Th. II - No. 5 - Agustus 2003]
Bayu Krisnamurthi
PERJUANGAN PEMIKIRAN EKONOMI (Tanggapan terhadap Prof Mubyarto)


Meskipun bukan jebolan “department of economics”, ada dua hal yang langsung terlintas dalam pemikiran ketika membaca tulisan Prof Mubyarto (Kompas, Jumat 11 Juli 2003). Pertama, pengalaman memberi kuliah Sejarah Pemikiran Ekonomi pada Pascasarjana IPB; dan kedua, apa yang disebut sebagai Millenium Development Goal (MDG) dan Human Development Report 2003 yang diulas panjang lebar oleh Kompas, 10 – 11 Juli 2003.
Dalam sejarah pemikiran ekonomi tercatat suatu rangkaian perjuangan pemikiran ekonomi, bahkan rangkaian usaha untuk “saling mengalahkan” dalam pemikiran ekonomi. Sejak awal pencatan sejarah dan sejak usaha pemenuhan kebutuhan hidup menjadi bagian dari kegiatan manusia, pemikiran ekonomi telah diwarnai oleh perjuangan tersebut. Mulai sejak jaman Yunani Kuno yang menempatkan ekonomi sebagai bagian dari filsafat, pemikiran ekonomi terus berkembang meski lambat hingga jaman Merkantilisme atau jaman Perdagangan dan Para Pedagang. Berikutnya ditawarkan pemikiran para Physiokrasi yang membela pertanian. Lalu lahir karya penting Adam Smith “Kekayaan Bangsa-bangsa (The Wealth of Nations)” – yang sering dengan tidak bertanggung jawab dipisahkan dari karya Smith lainnya “The Moral Sentiments” – yang kemudian menjadi awal dari pemikiran ekonomi klasik. Smith mendapat banyak dukungan tetapi juga menuai tentangan. Tentangan terbesar mungkin datang dari pemikiran sosialisme dan Marxisme. Pemikiran lain yang juga berbeda dengan aliran ekonomi klasik adalah pemikiran aliran Keynes yang lahir sebagai respon atas anggapan kegagalan ekonomi klasik mengatasi permasalahan ekonomi akut seperti pengangguran. Lalu berkembang pula pekiran-pemikiran neo-klasik, institusional, monetaris, dan seterusnya hingga saat ini. Pencatatan sejarah ekonomi itupun dianggap belum lengkap karena belum memasukkan perkembangan pemikiran ekonomi Islam dan pemikiran ekonomi Asia Timur yang memiliki cara berpikir tersendiri.
Pelajaran yang didapat dari sejarah ekonomi adalah bahwa tidak ada pemikiran yang memiliki kebenaran mutlak dan memiliki kelengkapan mutlak dalam menjelaskan fenomena ekonomi. Dalam perjalanan sejarah suatu pemikiran ekonomi hampir selalu pernah dan akan menghadapi situasi dimana pemikiran tersebut tidak dapat digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena ekonomi dalam masyarakat. Jika terjadi suatu fenomena ekonomi dalam masyarakat dan fenomena itu “tidak atau belum” tercakup dalam buku teks ekonomi, maka bukan berarti fenomena ekonomi itu yang “salah” tetapi mungkin karena buku teks itu memang belum lengkap dan kurang ‘up-to-date’. Itulah sebabnya selalu ada buku ekonomi baru dan buku teks ekonomi edisi baru.
Hal yang dapat ditarik pelajaran dari proses sejarah tersebut adalah bahwa perbedaan-perbedaan pemikiran yang terjadi sering kali sangat mendasar dan bersifat diametral. Namun ditengah perdebatan sengit itu ternyata tidak ada pemikiran yang steril. Artinya tidak ada pemikiran yang bebas – dan dapat membebaskan diri – dari pemikiran yang dikembangkan orang lain, termasuk pemikiran mereka yang menentangnya. Bahkan pemikiran yang bertahan melewati jaman adalah pemikiran yang secara objektif bisa melihat kebenaran dari pemikiran yang berbeda membangun “sintesa” atas “anti-tesa” yang diterima oleh “tesis” yang diajukan sekaligus terus tumbuh berkembang saling melengkapi, disamping tentu harus memiliki kemampuan penjelasan dan kelengkapan yang memadai. Hanya saja memang perbedaan cara berpikir itu ternyata tidak kemudian hilang. Pemikiran baru terus berkembang, dan beberapa diantara perbedaan pemikiran bahkan menguat dan perdebatannya juga ada yang berlangsung makin sengit.
Tantangan sesungguhnya adalah bagaimana mereka yang saling berbeda pendapat terus berusaha memperjuangkan pemikirannya sehingga pemikiran itu kemudian dapat dipergunakan oleh mereka yang berkepentingan. Konsistensi dan integritas pemikiran dipertaruhkan dalam perjuangan itu, walaupun kadang jalan yang dilalui harus mendaki, berbatu, dan berliku; penuh dengan ejekan bahkan pelecehan. Dan kemudian bersabar serta membangun keyakinan bahwa jika pemikiran yang ajukan sesuai dengan apa yang dihadapi manusia dan kemanusiaan maka pengaruhnya cepat atau lambat akan terasa.
Hal itu yang kemudian mengingatkan kepada Millennium Developmenty Goals atau MDG yang mencakup delapan tujuan yang ingin dicapai oleh 189 negara anggota PBB, termasuk Indonesia; yaitu (1) mengurangi kemiskinan dan kelaparan; (2) memastikan agar setiap anak dapat memperoleh pendidikan dasar; (3) mempromosikan ekualitas gender dan pemberdayaan perempuan; (4) mengurangi tingkat kematian anak; (5) meningkatkan kesehatan ibu; (6) memerangi penyakit menular seperti HIV/AIDS, malaria dan penyakit lain; (7) memastikan kelestarian lingkungan; dan (8) membangun kerjasama internasional dalam pembangunan. Jelas bahwa MDG bukan merupakan rumusan target ekonomi “konvensional” seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, investasi, atau neraca pembayaran. MDG memiliki dimensi yang lebih menyentuh aspek manusia, masyarakat dan kemanusiaan.
Oleh sebab itu apa yang dikemukakan dalam MDG akan sangat mudah diasosiasikan setidaknya dengan perjuangan mewujudkan sila kedua Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab dan sila ke lima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia dari Pancasila. Oleh sebab itu sangat tepat apa yang dikemukan Kwik Kian Gie dan Erna Witoelar dalam ‘launching’ Human Development Index 2003 bahwa kalau Indonesia mendukung MDG bukan karena itu merupakan rumusan PBB tetapi karena memang keinginan Indonesia sendiri. Dan jika 188 negara lainnya juga mendukung MDG maka tentu bukan mustahil jika kedua sila dari Pancasila diatas ternyata juga diakui oleh negara-negara itu, meskipun tidak harus dengan rumusan kalimat yang sama.
Yang menarik adalah bahwa MDG diakui oleh PBB, juga organ-organnya seperti UNICEF dan UNDP, dan tampaknya juga didukung oleh Bank Dunia, ADB, bahkan IMF. Artinya, ekonom-ekonom yang ada di lembaga-lembaga ternama itu tentu juga telah mengakui bahwa aspek manusia, masyarakat, dan kemanusiaan yang terkandung dalam MDG – atau dengan perkataan lain, sedikit atau banyak nilai-nilai yang terkandung dalam sila Kemanusiaan dan Keadilan Sosial dari Pancasila juga mereka akui, sekali lagi mungkin dengan urutan kata-kata yang berbeda. Bahwa aktualisasinya banyak yang masih berbeda-beda, itu adalah tantangan lebih lanjut yang harus diperjuangkan. Setidaknya “benih pemikiran” sudah ditanamkan, dan berprospek untuk terus ditumbuh-kembangkan. Tujuan sudah serupa walau cara mungkin masih sangat berbeda.
Selamat terus berjuang dalam ‘palagan’ pemikiran ekonomi Pak Muby. Perjuangan tampaknya masih berat dan panjang karena banyak yang lain juga terus memperjuangkan pemikiran ekonominya masing-masing. Bagaimanapun hasilnya, yang penting adalah semoga hasil itu memberi kesejahteraan yang bermartabat bagi manusia dan kemanusiaan.

________________________________________
Oleh: Dr. Bayu Krisnamurthi -- Staf Pengajar Program Pascasarjana Ekonomi Pertanian di IPB, Kepala Pusat Studi Pembangunan - Institut Pertanian Bogor (PSP-IPB)



REVIEW JURNAL :
PERJUANGAN PEMIKIRAN EKONOMI (TANGGAPAN TERHADAP Prof MUBYARTO)
Bayu Krisnamurthi
1. Pendahuluan
Dalam sejarah pemikiran ekonomi tercatat suatu rangkaian perjuangan pemikiran ekonomi, bahkan rangkaian usaha untuk “saling mengalahkan” dalam pemikiran ekonomi. Sejak awal pencatan sejarah dan sejak usaha pemenuhan kebutuhan hidup menjadi bagian dari kegiatan manusia, pemikiran ekonomi telah diwarnai oleh perjuangan tersebut. Mulai sejak jaman Yunani Kuno yang menempatkan ekonomi sebagai bagian dari filsafat, pemikiran ekonomi terus berkembang meski lambat hingga jaman Merkantilisme atau jaman Perdagangan dan Para Pedagang. Berikutnya ditawarkan pemikiran para Physiokrasi yang membela pertanian. Lalu lahir karya penting Adam Smith “Kekayaan Bangsa-bangsa (The Wealth of Nations)” – yang sering dengan tidak bertanggung jawab dipisahkan dari karya Smith lainnya “The Moral Sentiments” – yang kemudian menjadi awal dari pemikiran ekonomi klasik. Smith mendapat banyak dukungan tetapi juga menuai tentangan. Tentangan terbesar mungkin datang dari pemikiran sosialisme dan Marxisme. Pemikiran lain yang juga berbeda dengan aliran ekonomi klasik adalah pemikiran aliran Keynes yang lahir sebagai respon atas anggapan kegagalan ekonomi klasik mengatasi permasalahan ekonomi akut seperti pengangguran. Lalu berkembang pula pekiran-pemikiran neo-klasik, institusional, monetaris, dan seterusnya hingga saat ini. Pencatatan sejarah ekonomi itupun dianggap belum lengkap karena belum memasukkan perkembangan pemikiran ekonomi Islam dan pemikiran ekonomi Asia Timur yang memiliki cara berpikir tersendiri.
2. Point-point yang saya ringkas
• Tidak ada pemikiran yang memiliki kebenaran mutlak dan memiliki kelengkapan mutlak dalam menjelaskan fenomena ekonomi
• Perbedaan-perbedaan pemikiran yang terjadi sangat mendasar dan bersifat diametral,tetapi dietngah perdebarta yang sengit ternyata tidsk ada pemikiran yang steril yang artinya tidak ada pemikiran yang bebas dan dapat mebebaskan diri dari pemikiran yang dikembangkan orang lain.
• Pemikiran yang bertahan melewati jaman adalah pemikiran secara objektif bisa melihat kebenaran dari pemikiran yang berbeda.
• Tujuan Millennium Developmenty Goals :
 Mengurangi kemiskinan dan kelaparan
 Memastikan agar setiap anak dapat memperoleh pendidikan dasar
 Mempromosikan ekualitas gender dan pemberdayaan perempuan
 Mengurangi tingkat kematian anak
 Meningkatkan kesehatan ibu
 Memerangi penyakit menular seperti HIV/AIDS
 Memastikan kelestarian lingkungan
 Membangun kerjasama internasional dalam pembangunan
3. Kesimpulan
Hasil pemikiran ekonomi mendapatkan Pelajaran yang didapat dari sejarah ekonomi adalah bahwa tidak ada pemikiran yang memiliki kebenaran mutlak dan memiliki kelengkapan mutlak dalam menjelaskan fenomena ekonomi. Dalam perjalanan sejarah suatu pemikiran ekonomi hampir selalu pernah dan akan menghadapi situasi dimana pemikiran tersebut tidak dapat digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena ekonomi dalam masyarakat. Jika terjadi suatu fenomena ekonomi dalam masyarakat dan fenomena itu “tidak atau belum” tercakup dalam buku teks ekonomi, maka bukan berarti fenomena ekonomi itu yang “salah” tetapi mungkin karena buku teks itu memang belum lengkap dan kurang ‘up-to-date’. Itulah sebabnya selalu ada buku ekonomi baru dan buku teks ekonomi edisi baru.
Hal yang dapat ditarik pelajaran dari proses sejarah tersebut adalah bahwa perbedaan-perbedaan pemikiran yang terjadi sering kali sangat mendasar dan bersifat diametral. Namun ditengah perdebatan sengit itu ternyata tidak ada pemikiran yang steril. Artinya tidak ada pemikiran yang bebas – dan dapat membebaskan diri – dari pemikiran yang dikembangkan orang lain, termasuk pemikiran mereka yang menentangnya. Bahkan pemikiran yang bertahan melewati jaman adalah pemikiran yang secara objektif bisa melihat kebenaran dari pemikiran yang berbeda membangun “sintesa” atas “anti-tesa” yang diterima oleh “tesis” yang diajukan sekaligus terus tumbuh berkembang saling melengkapi, disamping tentu harus memiliki kemampuan penjelasan dan kelengkapan yang memadai. Hanya saja memang perbedaan cara berpikir itu ternyata tidak kemudian hilang. Pemikiran baru terus berkembang, dan beberapa diantara perbedaan pemikiran bahkan menguat dan perdebatannya juga ada yang berlangsung makin sengit.
Tantangan sesungguhnya adalah bagaimana mereka yang saling berbeda pendapat terus berusaha memperjuangkan pemikirannya sehingga pemikiran itu kemudian dapat dipergunakan oleh mereka yang berkepentingan. Konsistensi dan integritas pemikiran dipertaruhkan dalam perjuangan itu, walaupun kadang jalan yang dilalui harus mendaki, berbatu, dan berliku; penuh dengan ejekan bahkan pelecehan. Dan kemudian bersabar serta membangun keyakinan bahwa jika pemikiran yang ajukan sesuai dengan apa yang dihadapi manusia dan kemanusiaan maka pengaruhnya cepat atau lambat akan terasa.
4. Referensi :
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_17/artikel_7.htm
Nama kelompok 2EB10 :
 DISTY MEDIAN VANIDA 22210099
 FACHRURROZY 22210469
 FERIZAH ARINA M 22210742
 NIKE APRIANTI 24210978
 YULIANA EKA PUTRI 28210752
WIBISONO SUPRAPTO 28210481

Minggu, 18 Desember 2011

GERAKAN KOPERASI DALAM MENGHADAPI KRISIS GLOBAL

GERAKAN KOPERASI DALAM MENGHADAPI KRISIS GLOBAL
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Kemerdekaan rakyat Indonesia 17 Agustus 1945 memiliki cita-cita terhadap tatanan masyarakat yang berkeadilan dan berkemakmuran. Dengan falsafah perjuangannya yang diilhami oleh gagasan Bung Karno pada 1 Juni 1945 yaitu Pancasila, sangat jelas bagaimana sistem perkonomian Indonesia hendak dibangun dengan semangat gotong royong dan penuh kekeluargaan, satu untuk semua, semua untuk satu, semua buat semua.
Arus kepentingan kapitalisme global yang semakin menggurita ke seluruh pelososok di atas muka bumi ini merupakan tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia untuk menghadapinya secara cerdas. Apalagi dengan praktek-prakteknya yang penuh dengan aksi yang invidualistik. Berlawanan dengan konsepsi sistem perekonomian yang hendak dibangun dalam masyarakat Indonesia yang bersandarkan akan prinsip gotong royong dan kekeluargaan.
Fenomena yang tidak dapat dipungkiri adalah tatanan perekonomian yang semakin jauh dari prinsip keadilan termasuk yang terjadi di Indonesia. Kekuatan kapitalisme global melalui perusahaan-perusahaan multi nasionalnya seakan menggerus keberadaan kelas masyarakat kecil yang sangat minim akses ekonominya. Parahnya hal ini juga sudah menggelayut dalam diri Pemerintahan Nasional di Indonesia, artinya kebijakannya sudah semakin terdikte oleh kepentingan global. Hal ini tentu sangat tidak menguntungkan kebanyakan masyarakat Indonesia yang kebanyakan berada dibawah garis kemiskinan, yang kaya semakin kaya, dan sebaliknya yang miskin semakin miskin.
Artinya gebyar pembangunan ekonomi yang terjadi di negara-negara berkembang sebagai dampak kebijakan pemerintah nasional (dimulai orba) yang pro global dan pasar, seperti di Indonesia hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Konglomerasi menjadi konkuensi logis dalam era perdagangan bebas yang tak terkontrol perkembangannya di Indonesia, segelintir orang yang menikmati fasilitas kebijakan dapat dipertahankan melalui praktek kolusi dan nepotisme.
Krisis moneter yang melanda beberapa negara di kawasan Asia (Korea, Thailand, Indonesia, Malaysia) pada tahun 1997 setidaknya menjadi saksi sejarah dan sekaligus memberikan pelajaran sangat berharga bahwa sesungguhnya pengembangan ekonomi bangsa yang berbasis konglomerasi itu rentan terhadap badai krisis moneter. Sementara itu, pada saat yang sama kita dapat menyaksikan bahwa ekonomi kerakyatan (diantaranya adalah koperasi), yang sangat berbeda jauh karakteristiknya dengan ekonomi konglomerasi, mampu menunjukkan daya tahannya terhadap gempuran badai krisis moneter yang melanda Indonesia (Jangkung Handoyo Mulyo, 2008).
Pada sisi lain, era globalisasi dan perdagangan bebas (era reformasi) yang disponsori oleh kekuatan kapitalis membawa konsekuensi logis antara lain semakin ketatnya persaingan usaha diantara pelaku-pelaku ekonomi berskala internasional. Banyak pihak mengkritik, antara lain Baswir (2003), bahwa konsep perdagangan bebas cenderung mengutamakan kepentingan kaum kapitalis dan mengabaikan perbedaan kepentingan ekonomi antara berbagai strata sosial yang terdapat dalam masyarakat.
Dalam sistem perdagangan bebas tersebut, perusahaan-perusahaan multi nasional yang dikelola dengan mengedepankan prinsip ekonomi yang rasional, misalnya melalui penerapan prinsip efektifitas, efisiensi dan produktifitas akan berhadapan dengan, antara lain, koperasi yang dalam banyak hal tidak sebanding kekuatannya. Oleh karena itu agar tetap survive, maka koperasi perlu diberdayakan dan melakukan antisipasi sejak dini, apakah dengan membentuk jaringan kerjasama antar koperasi, melakukan merger antar koperasi sejenis, atau melakukan langkah antisipatif lainnya.
Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sudah barang pasti akan menambah jumlah warga miskin sebesar 4,5 juta. Pada 2007, jumlah warga miskin di Indonesia mencapai 37,2 juta orang atau 16,58 persen dari seluruh penduduk, sedang pascakenaikan BBM akan menjadi 41,7 juta orang atau 21,92 persen. Garis kemiskinan pada 2007 sebesar Rp 166.697,00 per orang per bulan. Sedangkan, dengan adanya kenaikan harga BBM, kebutuhan hidup layak bagi tiap individu hingga Desember 2008 diperkirakan sebesar Rp 195.000,00 per orang per bulan. Hal ini tentu akan memengaruhi kalkulasi jumlah penduduk miskin yang dipastikan akan meningkat (Wijaya Adi, P2E-LIPI).
Sedikitnya 348.116 orang akan kehilangan potensi untuk mendapat pekerjaan akibat kenaikan harga BBM tersebut. Hal itu terjadi karena penurunan produktivitas sektor usaha dan nilai jual produk, menyusul daya beli masyarakat yang tergerus. Turunnya daya beli masyarakat akibat inflasi harga BBM akan memperlemah konsumsi. Dalam skenario ini, angka pertumbuhan ekonomi tahun ini diperkirakan sekitar 6 persen, artinya turunnya pertumbuhan ekonomi membuat penurunan tenaga kerja terpakai.
Hasil perhitungan P2E-LIPI menunjukkan, pascakenaikan harga BBM, elastisitas penyerapan tenaga kerja menurun menjadi 290.097 orang. Dengan mengambil skenario angka pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen dan angka elastisitas tenaga kerja yang baru yaitu 290.097 orang, maka kesempatan kerja baru yang dapat tercipta yaitu 1.740.579 orang. Dengan kondisi demikian, tambahan pencari kerja baru yang setiap tahun diprediksi sebesar 1,9 juta orang tidak akan dapat terserap semua. Dengan perkataan lain, akan terjadi pengangguran sebesar 148.421 orang setelah kenaikan harga BBM. Dengan demikian, total pengangguran terbuka akan menjadi sekitar 9,7 juta atau 8,6 persen. Dalam skenario ini diasumsikan pemerintah tidak melakukan kebijakan apa pun untuk mengurangi angka pengangguran.
1.2 Perumusan masalah
Arus kepentingan kapitalisme global yang semakin menggurita ke seluruh pelososok di atas muka bumi ini merupakan tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia untuk menghadapinya secara cerdas. Fenomena yang tidak dapat dipungkiri adalah tatanan perekonomian yang semakin jauh dari prinsip keadilan termasuk yang terjadi di Indonesia. Kekuatan kapitalisme global melalui perusahaan-perusahaan multi nasionalnya seakan menggerus keberadaan kelas masyarakat kecil yang sangat minim akses ekonominya.
1.3 Tujuan
Menganalisis apakah ada kontribusi koperasi dalam menghadapi krisis global dan mengetahui faktor kunci dalam pengembangan dan pemberdaya koperasi.
1.4 Metode penelitian
Pengelolaan analisis data dilakukan secara diskriftif reflektif

Bab II Pembahasan
Demokrasi Ekonomi Melalui Koperasi Rakyat
Dalam konteks ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, kegiatan produksi dan konsumsi dilakukan oleh semua warga masyarakat dan untuk warga masyarakat, sedangkan pengelolaannya dibawah pimpinan dan pengawasan anggota masyarakat sendiri (Mubyarto, 2002). Prinsip demokrasi ekonomi tersebut hanya dapat diimplementasikan dalam wadah koperasi yang berasaskan kekeluargaan.
Secara operasional, jika koperasi menjadi lebih berdaya, maka kegiatan produksi dan konsumsi yang jika dikerjakan sendiri-sendiri tidak akan berhasil, maka melalui koperasi yang telah mendapatkan mandat dari anggota-anggotanya hal tersebut dapat dilakukan dengan lebih berhasil. Dengan kata lain, kepentingan ekonomi rakyat, terutama kelompok masyarakat yang berada pada aras ekonomi kelas bawah (misalnya petani, nelayan, pedagang kaki lima) akan relatif lebih mudah diperjuangkan kepentingan ekonominya melalui wadah koperasi, inilah sesungguhnya yang menjadi latar belakang pentingnya pemberdayaan koperasi.
Kiprah Koperasi di Berbagai Negara
Secara obyektif disadari bahwa disamping ada koperasi yang sukses dan mampu meningkatkan kesejahteraan anggotanya, terdapat pula koperasi di Indonesia (bahkan mungkin jauh lebih banyak kuantitasnya) yang kinerjanya belum seperti yang diharapkan. Koperasi pada kategori kedua inilah yang memberi beban psikis dan juga ‘trauma’ bagi sebagian kalangan akan manfaat berkoperasi. Ada beberapa contoh untuk lebih meyakinkan bahwa sesungguhnya sistem koperasi mampu untuk mengelola usaha dengan baik, menyejahterakan anggotanya dan sekaligus berfungsi sebagai kekuatan pengimbang (countervailing power) dalam sistem ekonomi.
Koperasi di Jerman, misalnya, telah memberikan kontribusi nyata bagi perekonomian bangsa, sebagaimana halnya koperasi-koperasi di negara-negara skandinavia. Koperasi konsumen di beberapa negara maju, misalnya Singapura, Jepang, Kanada dan Finlandia mampu menjadi pesaing terkuat perusahaan raksasa ritel asing yang mencoba masuk ke negara tersebut (Mutis, 2003). Bahkan di beberapa negara maju tersebut, mereka berusaha untuk mengarahkan perusahaannya agar berbentuk koperasi. Dengan membangun perusahaan yang berbentuk koperasi diharapkan masyarakat setempat mempunyai peluang besar untuk memanfaatkan potensi dan asset ekonomi yang ada di daerahnya.
Di Indonesia, menurut sumber Dekopin, terdapat sekitar 116.000 unit koperasi (Kompas, 2004). Ini adalah suatu jumlah yang sangat besar dan potensial untuk dikembangkan. Seandainya dari jumlah tersebut terdapat 20-30% saja yang kinerjanya bagus, tentu peran koperasi bagi perekonomian nasional akan sangat signifikan.
Sementara itu di Amerika Serikat jumlah anggota koperasi kredit (credit union) mencapai sekitar 80 juta orang dengan rerata simpanannya 3000 dollar (Mutis, 2001). Di Negara Paman Sam ini koperasi kredit berperan penting terutama di lingkungan industri, misalnya dalam pemantauan kepemilikan saham karyawan dan menyalurkan gaji karyawan. Begitu pentingnya peran koperasi kredit ini sehingga para buruh di Amerika Serikat dan Kanada sering memberikan julukan koperasi kredit sebagai people’s bank, yang dimiliki oleh anggota dan memberikan layanan kepada anggotanya pula.
Di Jepang, koperasi menjadi wadah perekonomian pedesaan yang berbasis pertanian. Peran koperasi di pedesaan Jepang telah menggantikan fungsi bank sehingga koperasi sering disebut pula sebagai ‘bank rakyat’ karena koperasi tersebut beroperasi dengan menerapkan sistem perbankan (Rahardjo, 2002).
Contoh lain adalah perdagangan bunga di Belanda. Mayoritas perdagangan bunga disana digerakkan oleh koperasi bunga yang dimiliki oleh para petani setempat. Juga Koperasi Sunkis di California (AS) yang mensuplai bahan dasar untuk pabrik Coca Cola, sehingga pabrik tersebut tidak perlu membuat kebun sendiri. Dengan demikian pabrik Coca Cola cukup membeli sunkis dari Koperasi Sunkis yang dimiliki oleh para petani sunkis (Mutis, 2001). Di Indonesia, banyak juga kita jumpai koperasi yang berhasil, misalnya GKBI yang bergerak dalam bidang usaha batik, KOPTI yang bergerak dalam bidang usaha tahu dan tempe (Krisnamurthi, 2002), Koperasi Wanita Setia Bhakti Wanita di Surabaya, dan KOSUDGAMA di Yogyakarta untuk jenis koperasi yang berbasis di perguruan tinggi, dan masih banyak contoh lagi.
Strategi Pemberdayaan Koperasi
Mengkaji kisah sukses dari berbagai koperasi, terutama koperasi di Indonesia, kiranya dapat disarikan beberapa faktor kunci dalam pengembangan dan pemberdayaan koperasi. yaitu antara lain:
1) Pemahaman pengurus dan anggota akan jati diri koperasi (co-operative identity) yang antara lain dicitrakan oleh pengetahuan mereka terhadap ‘tiga serangkai’ koperasi, yaitu pengertian koperasi, nilai-nilai koperasi dan prinsip-prinsip gerakan koperasi (International Co-operative Information Centre, 1996). Pemahaman akan jati diri koperasi merupakan poin penting dalam mengimplementasikan jati diri tersebut pada segala aktifitas koperasi. Aparatur pemerintah terutama departemen yang membidangi masalah koperasi perlu pula untuk memahami secara utuh dan mendalam mengenai perkoperasian, sehingga komentar yang dilontarkan oleh pejabat tidak terkesan kurang memahami akar persoalan koperasi, seperti kritik yang pernah dilontarkan oleh berbagai kalangan, diantaranya oleh Baga (2003).
2) Dalam menjalankan usahanya, pengurus koperasi harus mampu mengidentifikasi kebutuhan kolektif anggotanya dan memenuhi kebutuhan tersebut. Proses untuk menemukan kebutuhan kolektif anggota sifatnya kondisional dan lokal spesifik. Dengan mempertimbangkan aspirasi anggota-anggotanya, sangat dimungkinkan kebutuhan kolektif setiap koperasi berbeda-beda. Misalnya di suatu kawasan sentra produksi komoditas pertanian (buah-buahan) bisa saja didirikan koperasi. Kehadiran lembaga koperasi yang didirikan oleh dan untuk anggota akan memperlancar proses produksinya, misalnya dengan menyediakan input produksi, memberikan bimbingan teknis produksi, pembukuan usaha, pengemasan dan pemasaran produk.
3) Kesungguhan kerja pengurus dan karyawan dalam mengelola koperasi. Disamping kerja keras, figur pengurus koperasi hendaknya dipilih orang yang amanah, jujur serta transparan.
4) Kegiatan (usaha) koperasi bersinergi dengan aktifitas usaha anggotanya.
5) Adanya efektifitas biaya transaksi antara koperasi dengan anggotanya sehingga biaya tersebut lebih kecil jika dibandingkan biaya transaksi yang dibebankan oleh lembaga non-koperasi.


REVIEW JURNAL

Dalam system ekonomi Pancasila yang pro rakyat, maka faktor produksi dan distribusi haruslah mendapatkan penempatan yang proporsional kesempatannya. Melalui pembangunan usaha yang berbasis pada anggotanya maka memungkinkan untuk merealisasikan prinsip keadilan dan pemerataan. Seyogyanya pemberdayaan koperasi dapat dilakukan secara bersama-sama dalam semangat gotong royong sehingga peran koperasi bukan hanya berperan sebagai lembaga yang menjalankan usaha saja, namun koperasi bisa menjadi alternatif kegiatan ekonomi yang mampu menyejahterakan anggota serta sekaligus berfungsi sebagai kekuatan pengimbang dalam sistem perekonomian. Diharapkan tumbuh berkembangnya koperasi yang memiliki daya kompetisi dan nilai tawar yang setara dengan pelaku ekonomi lainnya.
Upaya untuk lebih memberdayakan koperasi diawali dengan mengembalikan koperasi sesuai dengan jatidirinya. Selain itu diperlukan upaya serius untuk mensosialisasikan koperasi dalam format gerakan berkoperasi secara berkesinambungan kepada warga masyarakat, baik melalui media pendidikan, media masa, maupun media yang lainnya.
Koperasi sebagai salah satu representasi dari ekonomi kerakyatan yang bersendikan demokrasi ekonomi dapat tumbuh, berkembang dan berdaya guna serta mampu menjadi salah satu pilar penting perekonomian bangsa. Dan yang paling penting lagi adalah mampu menjadi pelopor penegak keadilan bagi sistem perekonomian rakyat.

Sumber :
http://dwirio.blogspot.com/2008/10/gerakan-koperasi-dalam-menghadapi.html

Nama kelompok 2EB10 :
 DISTY MEDIAN VANIDA 22210099
 FACHRURROZY 22210469
 FERIZAH ARINA M 22210742
 NIKE APRIANTI 24210978
 YULIANA EKA PUTRI 28210752
 WIBISONO SUPRAPTO 28210481

POLITIK PERTANIAN YANG MENSEJAHTERAHKAN PETANI

EDITORIAL (Edisi 2011-01-10)
POLITIK PERTANIAN YANG MENSEJAHTERAKAN PETANI

Kita semua mengetahui, bahwa kegiatan pertanian memiliki ciri yang khas, unik, dan berbeda dengan kegiatan manusia lainnya. Pertanian dasarnya adalah iklim, tanah, air, dengan tanaman atau hewan yang membentuk jejaring ekologi yang sangat kompleks dimana manusia berada di dalamnya. Ditambah kekhasan lain, seperti struktur kepulauan Indonesia, heterogenitas sumberdaya alam, plasma nutfah dan lingkungan menjadi ciri diversitas pertanian, merupakan bagian keunikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar dunia dengan jumlah penduduk urutan keempat terbesar dunia.

Ke depan, masalah utama yang kita hadapi adalah bagaimana mengatasi kemiskinan, pengangguran, kesenjangan, dan kerusakan lingkungan hidup yang semakin hari tampaknya semakin parah. Petani sebagai subyek terbesar dalam masyarakat pertanian, dalam banyak hal berusaha dengan sifat small scale, penuh keterbatasan aset, teknologi dan ketrampilan. Meski mereka telah membuktikan sebagai real investor dalam pembangunan pertanian selama ini, tetap dibutuhkan jaminan untuk mengatasi resiko dan ketidakpastian (risk and uncertainty) usahanya. Jaminan terhadap struktur pasar produknya yang oligopolistik dalam wujud perusahaan multinasional, jaminan terhadap teknologi dan nilai tambah kegiatan produktifnya. Potret saat ini mencerminkan kondisi bahwa disain pembangunan pertanian kita belum mampu mengintegrasikan antara kegiatan ekonomi primer dengan kegiatan industri pengolahan dalam suatu integrasi yang solid dan padu, sehingga nilai tambah yang terjadi senantiasa seringkali bukan dinikmati oleh mereka.

Sebenarnya, banyak pelajaran telah kita peroleh. Bukti empiris menunjukkan bahwa kemajuan negara-negara umumnya sangat ditentukan oleh kemajuan pertaniannya. Kemajuan pertanian bukan hanya diperlihatkan oleh peningkatan produktivitas, efisiensi dan daya saing produk-produk pertaniannya semata, tetapi lebih kepada kemajuan dan kesejahteraan masyarakat petani dan perdesaan, dalam suatu proses transformasi ekonomi yang terjadi secara berkelanjutan apabila pertanian tumbuh menjadi sektor yang kuat dan sehat. Akar dari berkembangnya proses tersebut dicirikan oleh berkembangnya industri-industri berbasis pertanian sebagai landasan kokoh dari perkembangan perekonomian suatu negara maju. Kemajuan-kemajuan yang dicapai Jepang, Korea Selatan, Malaysia dan Thailand dapat dijadikan cermin bagi Indonesia.

Mungkin kekeliruan kita selama ini adalah menempatkan ideologi pertanian terbatas hanya dalam konteks fisik dan kapital semata. Peningkatan produksi, produktivitas, ketahanan dan keamanan pangan, agribisnis, devisa adalah parameter-parameter penting, akan tetapi terkesan mengesampingkan aspek terpenting lain dari pertanian itu sendiri, yaitu petani dan kesejahteraannya. Ideologi semacam itu lebih bersifat hedonistik, meski memang sering menuai berbagai kisah sukses seperti tercapainya swasembada, akan tetapi sekaligus terlihat tanda-tanda ‘peminggiran’ subyek petani dan kesejahteraannya. Sejauh ini kita bahkan seringkali masih dihadapkan pada keprihatinan petani-petani di perdesaan, yang merupakan bagian terbesar masyarakat yang masih berada di “barisan belakang” dalam stratum kesejahteraan penduduk umumnya.

Mestinya, ideologi yang harus kita bangun adalah mendorong agar petani-petani di Indonesia memiliki hak-hak khusus seperti yang dapat dilihat berlaku di negara-negara maju. Hak-hak khusus ini diperlukan mengingat karakter dari pertanian itu sendiri, yaitu sebagai landasan berkembangnya peradaban yang lebih maju di satu pihak, tetapi di pihak lain petani akan selalu berada pada posisi yang lemah sebagai akibat dari karakter produk yang dihasilkannya. Tidak mungkin suatu masyarakat berkembang apabila kekurangan pangan, bahkan mengalami food-traps seperti saat ini. Tetapi di pihak lain, pangan ini memiliki nilai tukar yang rendah, bahkan nilai tambahnya tidak dinikmati oleh para petani sebagai produsennya. Oleh karena itu, menjadi hal yang ideal apabila kepentingan petani dan kepentingan negara menjadi satu tanpa meniadakan kepentingan yang satu dengan yang lainnya. Tanpa adanya ideologi semacam ini, program swasembada pangan, misalnya, dapat bermanfaat secara nasional tetapi dapat saja merugikan petani, apabila pendapatan petani tidak dijamin.

Saat ini, lebih-lebih di tahun 2011 yang masih berada di bawah ketidakpastian perubahan iklim dan suasana global yang sangat dinamis, kita sangat membutuhkan bangunan modal sosial pertanian yang lebih kokoh, dengan menumbuhkan semangat dan motivasi menuju peningkatan kesejahteraan petani sebagai subyek. Politik ini pada dasarnya adalah bagaimana melindungi petani dari ketidakadilan pasar (input, lahan, modal, output, dan lainnya). Politik tersebut sebagai bagian penting untuk memberdayakan petani, yang pada dasarnya dapat diimplementasikan melalui berbagai strategi pengelolaan pasar sebagai upaya ‘menjamin’ kesejahteraan petani dari ketidakadilan dan resiko, kebijakan harga input pertanian, kebijakan penyediaan lahan pertanian, permodalan, pengendalian hama dan penyakit, dan kebijakan penanganan dampak bencana alam. Sikap dasar pembangunan pertanian seperti itu harus ditumbuhkan untuk meningkatkan semangat dan motivasi serta keadilan bagi petani sebagai human capital di perdesaan, untuk menghadapi era global yang tidak pernah menjamin terwujudnya keadilan pasar.

Politik kedua adalah bagaimana mengembangkan nilai tambah, yang pada dasarnya berfokus pada bagaimana mengimplementasikan strategi umum dalam memberikan arah bagi pengembangan industrialisasi pertanian. Strategi ini meliputi bagaimana upaya menetapkan berbagai fokus dan prioritas pengembangan industri pertanian berbasis pada sumber bahan baku yang dihasilkan di dalam negeri, bagaimana upaya pengembangan produk-produk antara sebagai bahan dasar untuk berbagai penggunaan (diversifikasi horisontal maupun vertikal) untuk membangun ketahanan dan kemandirian pangan yang kuat dan berkelanjutan, misalnya bagaimana strategi untuk mengembangkan jaringan distribusi dan transportasi pertanian yang terutama berbasis wilayah kepulauan (pelabuhan dan terminal produk pertanian sebagai unsur pokok, dsbnya), bagaimana strategi mengembangkan sistem informasi dan pemasaran pertanian, dan bagaimana strategi memanfaatkan limbah-limbah industri pertanian, serta berbagai strategi fiskal untuk memberikan insentif berkembangnya industri pertanian.

Kita tunggu langkah-langkah bijak dari para pemangku kebijakan.

Rudi Wibowo


REVIEW JURNAL :
POLITIK PERTANIAN YANG MENSEJAHTERAHKAN PETANI
RUDI WIBOWO
1. Pendahuluan
Pertanian dasarnya adalah iklim, tanah, air, dengan tanaman atau hewan yang membentuk jejaring ekologi yang sangat kompleks dimana manusia berada di dalamnya. Ditambah kekhasan lain, seperti struktur kepulauan Indonesia, heterogenitas sumberdaya alam, plasma nutfah dan lingkungan menjadi ciri diversitas pertanian, merupakan bagian keunikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar dunia dengan jumlah penduduk urutan keempat terbesar dunia.
masalah utama yang kita hadapi adalah bagaimana mengatasi kemiskinan, pengangguran, kesenjangan, dan kerusakan lingkungan hidup yang semakin hari tampaknya semakin parah. Petani sebagai subyek terbesar dalam masyarakat pertanian, dalam banyak hal berusaha dengan sifat small scale, penuh keterbatasan aset, teknologi dan ketrampilan. Meski mereka telah membuktikan sebagai real investor dalam pembangunan pertanian selama ini, tetap dibutuhkan jaminan untuk mengatasi resiko dan ketidakpastian (risk and uncertainty) usahanya. Jaminan terhadap struktur pasar produknya yang oligopolistik dalam wujud perusahaan multinasional, jaminan terhadap teknologi dan nilai tambah kegiatan produktifnya. Potret saat ini mencerminkan kondisi bahwa disain pembangunan pertanian kita belum mampu mengintegrasikan antara kegiatan ekonomi primer dengan kegiatan industri pengolahan dalam suatu integrasi yang solid dan padu, sehingga nilai tambah yang terjadi senantiasa seringkali bukan dinikmati oleh mereka.
Bukti empiris menunjukkan bahwa kemajuan negara-negara umumnya sangat ditentukan oleh kemajuan pertaniannya. Kemajuan pertanian bukan hanya diperlihatkan oleh peningkatan produktivitas, efisiensi dan daya saing produk-produk pertaniannya semata, tetapi lebih kepada kemajuan dan kesejahteraan masyarakat petani dan perdesaan, dalam suatu proses transformasi ekonomi yang terjadi secara berkelanjutan apabila pertanian tumbuh menjadi sektor yang kuat dan sehat. Akar dari berkembangnya proses tersebut dicirikan oleh berkembangnya industri-industri berbasis pertanian sebagai landasan kokoh dari perkembangan perekonomian suatu negara maju. Kemajuan-kemajuan yang dicapai Jepang, Korea Selatan, Malaysia dan Thailand dapat dijadikan cermin bagi Indonesia.

2. Point-point yang saya ringkas
• Kondisi pembangunan pertanian Indonesia belum mampu mengintegrasikan antara kegiatan ekonomi primer dengan kegiatan industri penglahan dalam suatu integrasi yang solid dan padu,sehingga hasil yang mereka peroleh seringkali bukan mereka yang menikmatinya.
• Indonesia menempatkan ideology pertanian terbatas hanya dalam konteks fisik dan capital,Indonesia mengensampingkan aspek penting dari pertanian yaitu petani dan kesejahteraannya.Peningkatan produksi, produktivitas,ketahanan dan keamanan pangan,agribisnis serta devisa lebih diutamakan.ideologi ini bersifat hedonistik sering menuai kesuksesan tetapi mengensampingkan subyek petani dan kesejahteraannya.
• Indonesia memerlukan Hak-hak khusus diperlukan mengingat karakter dari pertanian itu sendiri, yaitu sebagai landasan berkembangnya peradaban yang lebih maju di satu pihak, tetapi di pihak lain petani akan selalu berada pada posisi yang lemah sebagai akibat dari karakter produk yang dihasilkannya.

3. Kesimpulan
• Dari jurnal yang telah saya baca Indonesia Indonesia membutuhkan bangunan modal sosial pertanian yang lebih kokoh, dengan menumbuhkan semangat dan motivasi menuju peningkatan kesejahteraan petani sebagai subyek. Politik ini pada dasarnya adalah bagaimana melindungi petani dari ketidakadilan pasar (input, lahan, modal, output, dan lainnya). Politik tersebut sebagai bagian penting untuk memberdayakan petani, yang pada dasarnya dapat diimplementasikan melalui berbagai strategi pengelolaan pasar sebagai upaya ‘menjamin’ kesejahteraan petani dari ketidakadilan dan resiko, kebijakan harga input pertanian, kebijakan penyediaan lahan pertanian, permodalan, pengendalian hama dan penyakit, dan kebijakan penanganan dampak bencana alam. Sikap dasar pembangunan pertanian seperti itu harus ditumbuhkan untuk meningkatkan semangat dan motivasi serta keadilan bagi petani sebagai human capital di perdesaan, untuk menghadapi era global yang tidak pernah menjamin terwujudnya keadilan pasar.
• Serta bagaimana mengembangkan nilai tambah yang hanya berfokus pada bangaimana mengimplementasikan strategi umum dlam memberikan arah bagi pengembangan industrialisasi pertanian.


4. Referensi :
http://www.ekonomirakyat.org/editorial.php?id=12




Nama kelompok 2EB10 :
 DISTY MEDIAN VANIDA 22210099
 FACHRURROZY 22210469
 FERIZAH ARINA M 22210742
 NIKE APRIANTI 24210978
 YULIANA EKA PUTRI 28210752
WIBISONO SUPRAPTO 28210481

Rabu, 14 Desember 2011

EKONOMI PEMBANGUNAN

OPTIMALISASI ZIS DAN PENGHAPUSAN PAJAK:
SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KEMANDIRIAN EKONOMI
MASYARAKAT MISKIN DI ERA OTONOMI DAERAH



ABSTRACT
Poorness represent the important problems faced by the Indonesian nation, various effort have been conducted by government, but pursued with the fundamental constraint development failure, till factors of moral hazard make the poverty problems always become the new problems. Zakah, infaq, and shadaqah (ZIS) representing the part of fiscal instrument of Islam, needed in overcome poverty, that is passing gift program special economic incentive (zakat), and extra incentive from infaq and shadaqah as capital of the poor deceiveness through the development in pattern of partner and financing. On the other side, tax as conventional fiscal instrument, up to now still becomes the backbone of APBN in order to prosperity distribution. The aim of this paper is provide the fiscal analysis through the optimize of ZIS and tax abolition in context to rising the economic independence of poor society. Resolving through the optimize of ZIS and tax abolition expected applicable utilize the rising of economic independence of poor society in autonomy era.
Keywords: zakah, poorness, autonomy era, tax, empowerment, welfare.


PENDAHULUAN
Permasalahan kemiskinan pada dasarnya merupakan fenomena klasik yang hingga saat ini menjadi perhatian utama negara-negara di dunia. Millenium Development Goals (MDGs) yang dideklarasikan oleh PBB pada tahun 2000 mengharapkan seluruh negara yang menjadi anggota PBB dapat mengurangi jumlah penduduk miskin dan kekurangan pangan di masing-masing negara hingga mencapai 50 persen pada tahun 2015 (Putra,
2006).
Dalam konteks menyikapi perkembangan kemiskinan di Indonesia, pakar kemiskinan Gunawan Sumodiningrat menyatakan, pemerintah Indonesia bisa dikatakan hampir berhasil mengatasi kemiskinan. Disebutkan bahwa selama tahun 1976-1996 jumlah penduduk miskin turun drastis dari 54 juta jiwa atau 40 persen dari jumlah penduduk (1976) turun menjadi 22,5 juta jiwa atau sekitar 11,3 persen (1996). Krisis ekonomi tahun 1997 menyebabkan jumlah penduduk miskin meningkat hingga 23,4 persen pada tahun 1999, yang merupakan akibat dari banyaknya perusahaan atau sentra ekonomi menghentikan kegiatan ekonomi sehingga bertambahnya angka pengangguran. Pada tahun 2000, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 37 juta jiwa atau sekitar 19 persen, dan mulai turun pada tahun 2002 menjadi 18,2 persen, dan kembali turun menjadi 17,4 persen di tahun 2003. Namun di akhir tahun 2004 terdapat kecenderungan
jumlah penduduk miskin meningkat mencapai 54 juta jiwa. (Business News, 7 September 2005:3). Dalam Islam dikenal beberapa bentuk insentif bagi perekonomian yang sangat unik bagi masyarakat miskin yaitu zakat, infak dan shadaqah. Zakat bersifat wajib, sedangkan infak dan shadaqah bersifat sukarela. Keduanya berperan sebagai instrumen pemerataan pendapatan dalam mencapai perekonomian yang berkeadilan. Sedangkan, dalam fiskal konvensional, pajak hingga kini menjadi masih menjadi tulang punggung APBN dalam menghadapi pengeluaran negara. Keduanya, pajak dan zakat merupakan dua ujung tombak pemerataan pendapatan yang selama ini berjalan di Indonesia. (Pikiran Rakyat, 27 Desember 2005) Berdasar hasil penelitian Pusat Budaya dan Bahasa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2004-2005, yang menyebutkan potensi zakat, infak, dan shadaqah setiap tahunnya mencapai Rp 19, 3
triliun. Sedangkan berdasar data BAZ nasional dan daerah serta lembaga amil zakat yang sudah dikukuhkan pemerintah pusat maupun daerah jumlahnya kurang dari Rp 300 miliar per tahun. Dan, pajak masih diusahakan terkait dengan tax ratio-nya.

Namun telah dijelaskan terhadap hukum diselenggarakannya pajak, yaitu: “Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu saling makan harta sesamamu dengan cara yang batil...(Qs. An-Nisa: 29) Dari Abul Khair r.a. beliau berkata: “Maslamah bin makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkan tugas penarikan pajak kepada Ruwaifi’ bin Tsabit r.a., maka ia berkata: “Sesungguhnya para penarik/ pemungut pajak
(diadzab) di neraka. (HR.Ahmad 4/143, Abu Dawud: 2930) (al-Furqon, 39:2006) Berdasarkan hal tersebut penghapusan pajak dan optimalisasi zakat, infak, dan shadaqah (ZIS) merupakan potensi strategis untuk menunjang pembangunan ekonomi Indonesia dalam mewujudkan kesejahteraan yang sesungguhnya, yaitu secara lahir dan batin di era otonomi daerah.

Kesimpulan :


1. Hukum pajak adalah haram. Penghapusan pajak, dapat mendorong terciptanya sumber penerimaan baru, dengan optimalisasi sumberdaya asli yang belum terkelola secara efektif dan efisien.
2. Zakat, infak, shadaqah sebagai instrumen fiskal dalam sistem ekonomi Islam, mempunyai potensi dalam menghentikan permasalahan kemiskinan. Melalui peran kelembagaan, ketiga instrumen yakni zakat, infak, dan shadaqah dapat dikemas menjadi program pengentasan kemiskinan yang bernilai edukatif, religius, sosial dan kewirausahawan. 98 Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 8, No. 1, Juni 2007
3. Penghapusan pajak, diharapkan dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan stabilitas makro ekonomi yang lebih baik, sebagai akibat membaiknya iklim investasi. Selanjutnya penulis memberikan saran
sebagai berikut:

Review Jurnal :


Permasalahan kemiskinan pada dasarnya merupakan fenomena klasik yang hingga saat ini menjadi perhatian utama negara-negara di dunia. Millenium Development Goals (MDGs) yang dideklarasikan oleh PBB pada tahun 2000 mengharapkan seluruh negara yang menjadi anggota PBB dapat mengurangi jumlah penduduk miskin dan kekurangan pangan di masing-masing negara hingga mencapai 50 persen pada tahun 2015 (Putra,
2006).
Dalam konteks menyikapi perkembangan kemiskinan di Indonesia, pakar kemiskinan Gunawan Sumodiningrat menyatakan, pemerintah Indonesia bisa dikatakan hampir berhasil mengatasi kemiskinan. Disebutkan bahwa selama tahun 1976-1996 jumlah penduduk miskin turun drastis dari 54 juta jiwa atau 40 persen dari jumlah penduduk (1976) turun menjadi 22,5 juta jiwa atau sekitar 11,3 persen (1996). Krisis ekonomi tahun 1997 menyebabkan jumlah penduduk miskin meningkat hingga 23,4 persen pada tahun 1999, yang merupakan akibat dari banyaknya perusahaan atau sentra ekonomi menghentikan kegiatan ekonomi sehingga bertambahnya angka pengangguran. Pada tahun 2000, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 37 juta jiwa atau sekitar 19 persen, dan mulai turun pada tahun 2002 menjadi 18,2 persen, dan kembali turun menjadi 17,4 persen di tahun 2003. Namun di akhir tahun 2004 terdapat kecenderungan
jumlah penduduk miskin meningkat mencapai 54 juta jiwa. (Business News, 7 September 2005:3). Dalam Islam dikenal beberapa bentuk insentif bagi perekonomian yang sangat unik bagi masyarakat miskin yaitu zakat, infak dan shadaqah. Zakat bersifat wajib, sedangkan infak dan shadaqah bersifat sukarela. Keduanya berperan sebagai instrumen pemerataan pendapatan dalam mencapai perekonomian yang berkeadilan. Sedangkan, dalam fiskal konvensional, pajak hingga kini menjadi masih menjadi tulang punggung APBN dalam menghadapi pengeluaran negara. Keduanya, pajak dan zakat merupakan dua ujung tombak pemerataan pendapatan yang selama ini berjalan di Indonesia. (Pikiran Rakyat, 27 Desember 2005) Berdasar hasil penelitian Pusat Budaya dan Bahasa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2004-2005, yang menyebutkan potensi zakat, infak, dan shadaqah setiap tahunnya mencapai Rp 19, 3
triliun. Sedangkan berdasar data BAZ nasional dan daerah serta lembaga amil zakat yang sudah dikukuhkan pemerintah pusat maupun daerah jumlahnya kurang dari Rp 300 miliar per tahun. Dan, pajak masih diusahakan terkait dengan tax ratio-nya.

Namun telah dijelaskan terhadap hukum diselenggarakannya pajak, yaitu: “Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu saling makan harta sesamamu dengan cara yang batil...(Qs. An-Nisa: 29) Dari Abul Khair r.a. beliau berkata: “Maslamah bin makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkan tugas penarikan pajak kepada Ruwaifi’ bin Tsabit r.a., maka ia berkata: “Sesungguhnya para penarik/ pemungut pajak
(diadzab) di neraka. (HR.Ahmad 4/143, Abu Dawud: 2930) (al-Furqon, 39:2006) Berdasarkan hal tersebut penghapusan pajak dan optimalisasi zakat, infak, dan shadaqah (ZIS) merupakan potensi strategis untuk menunjang pembangunan ekonomi Indonesia dalam mewujudkan kesejahteraan yang sesungguhnya, yaitu secara lahir dan batin di era otonomi daerah.


Kesimpulan :

Jadi, BAZNAS/LAZ disarankan memiliki data mustahiq yang definisi operasionalnya sesuai dengan keterangan dalam AlQuran dan Al-Hadist, sehingga dapat memutuskan kebijakan yang akurat dan
tepat sasaran. Pemerintah disarankan fokus pada propoor policy (kebijakan yang secara
umum memihak orang miskin. Masyarakat disarankan dapat mendukung dan berpartisipasi aktif dalam program pengentasan kemiskinan BAZ/LAZ. Akademisi disarankan dapat mengkaji dan meneliti lebih komprehensif mengenai zakat, infak, shadaqah dalam penggunaannya sebagai instrumen pengentasan
kemiskinan di Indonesia. Swasta (pengusaha), memberikan kesempatan kerjasama bisnis dengan masyarakat
fakir dan miskin yang diberdayakan,Nama kelompok 2EB10 :
DISTY MEDIAN VANIDAØ 22210099
FACHRURROZYØ 22210469
FERIZAH ARINA MØ 22210742
NIKE APRIANTIØ 24210978
YULIANA EKA PUTRIØ 28210752
WIBISONO SUPRAPTO 28210481Daftar Referensi :
http://eprints.ums.ac.id/497/1/088-Sofyan.pdf

NAMA KELOMPOK:
1. disty median vanida 22210099
2. fachrurozyo 22210469
3. ferizah arina merzasio 22210742
4. nike aprianti 24210978
5. yuliana eka puri 28210752
6. wibisono suprapto 28210481

PERJALANAN PANJANG EKONOMI INDONESIA DARI ISU GLOBALISASI HINGGA KRISIS

[Artikel - Th. I - No. 3 - Mei 2002]
Hery Nugroho
PERJALANAN PANJANG EKONOMI INDONESIA:
DARI ISU GLOBALISASI HINGGA KRISIS EKONOMI



PENDAHULUAN
Penulis sengaja mengutip kata-kata bijak yang dilontarkan oleh seorang sastrawan dan filsuf termasyhur Amerika berdarah Hispanik, George Santayana, semata-mata karena kalimat bijak itu sangat tepat (precise) untuk menjadi sebuah "peringatan" (warning) bagi bangsa yang tengah berada dalam kesulitan ini.
Bangsa Indonesia, sepanjang sejarahnya telah melalui berbagai pembabakan. Mulai dari era kejayaan Nusantara lama (Sriwijaya dan Majapahit), yang tak lama setelah keruntuhannya segera disambut oleh era kolonialisme yang menyakitkan, sampai dengan era kemerdekaan yang di dalamnya juga telah terisi dengan lembaran-lembaran sejarah perekonomian yang kelam. Sesungguhnya, sejarah telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua.
Jika suatu bangsa dengan sengaja berani melupakan catatan faktual sejarah, maka bangsa itu tidak akan pernah mencapai kemakmuran dan kecerdasan. Bahkan sangat mungkin akan menjadi sebuah blunder, yang dapat menjerumuskan bangsa itu ke tataran yang lebih hina dari seekor keledai. Bukankah seekor keledai yang bodoh sekalipun tidak pernah terantuk batu yang sama?
SEPINTAS PEMBABAKAN EKONOMI INDONESIA
Berdasarkan pengalaman sejarah, sistem ekonomi pasar selalu mengalami pasang surut yang dapat digambarkan dalam sebuah kurva konjungtur ekonomi. Kurva tersebut terdiri dari beberapa bagian, antara lain: masa pertumbuhan, masa puncak kemakmuran (peak of wealth), masa kemunduran, masa keterpurukan (peak of crises). Setelah krisis dapat teratasi, maka akan disambung dengan masa pemulihan (recovery), pertumbuhan, dan seterusnya hingga membentuk seperti gelombang sinus.
Ditinjau dari periode waktunya, masing-masing babak memiliki durasi yang hampir konsisten, yaitu membentuk siklus waktu yang relatif tidak jauh berbeda antara gelombang satu dengan lainnya. Oleh karena itu, gabungan dari gelombang-gelombang siklus ekonomi tersebut dapat ditarik menjadi kesimpulan yang dikenal dengan konjungtur perekonomian.
Berdasarkan pengalaman sejarah Indonesia sejak era kemerdekaan sampai sekarang, panjang gelombang tersebut dapat dikategorikan dalam gelombang jangka pendek (tujuh tahunan) dan gelombang jangka panjang (35 tahunan). Gelombang jangka pendek tujuh tahunan dapat diringkas sebagai berikut. 2)
Masing-masing tahap dalam siklus tersebut telah ditandai dengan ciri-ciri khusus yang tidak terdapat pada periode sebelum dan sesudahnya. Misalnya, pada periode Ekonomi Konglomerasi, periode ini dipicu oleh liberalisasi sektor perbankan, yang disusul dengan tumbuhnya imperium usaha konglomerasi yang bermunculan seperti cendawan di musim hujan.
1945 - 1952 Ekonomi Perang
1952 - 1959 Pembangunan Ekonomi Nasional
1959 - 1966 Ekonomi Komando
1966 - 1973 Demokrasi Ekonomi
1973 - 1980 Ekonomi Minyak
1980 - 1987 Ekonomi Keprihatinan
1987 - 1994 Ekonomi Konglomerasi
1994 - 2001 Ekonomi Kerakyatan


Pada periode tersebut ditandai dengan pembangunan ekonomi bersifat sentralistis, rezim penguasa yang otoriter, serta birokrasi yang korup. Pembangunan yang "kebablasan" tersebut akhirnya mengantar bangsa besar ini ke arah periode krisis yang menyakitkan. Salah satu dampak positif yang ditimbulkan dari krisis ekonomi adalah tumbuhnya kesadaran akan kekeliruan strategi pembangunan yang dilakukan selama ini. Oleh karena itu, periode ini segera disambung dengan babak baru yang lebih membuka peluang bagi masyarakat untuk mengembangkan ekonominya secara mandiri, dengan didukung oleh iklim dan perhatian negara yang memadai. Era ini dikenal dengan era ekonomi kerakyatan.
Paper pendek ini tidak akan menyorot pembabakan tersebut secara keseluruhan, tetapi hanya akan difokuskan pada dua isu besar yang pernah mengemuka, yaitu isu globalisasi ekonomi dan pembahasan pada periode krisis ekonomi. Dua isu besar ini sangat relevan untuk diangkat, sehubungan dengan besarnya pengaruh yang ditimbulkan bagi kehidupan ekonomi bangsa Indonesia. Isu globalisasi telah membuat "kalang kabut" negara-negara berkembang yang tidak memiliki infrastruktur ekonomi yang memadai. Di lain pihak, isu globalisasi ini menjadi semacam "bahan bakar" bagi negara-negara maju untuk meningkatkan ekselerasi pertumbuhan ekonomi dan penetrasi ke pasar internasional.

ISU GLOBALISASI
Salah satu refleksi dari kegagapan bangsa Indonesia dalam menyikapi sejarah ekonominya adalah ketika dihadapkan pada isu santer yang dikenal dengan globalisasi, yang di dalamnya terkandung sejumlah obsesi, tantangan, konsekuensi, dan harapan akan kehidupan di masa depan. Globalisasi ekonomi hanya membuat makmur sebagian kecil orang (atau negara) di dunia ini, tetapi lebih banyak orang (bangsa/negara) yang dibuat susah, repot dan capek. Melelahkan.

3) mubyarto, membangun sistem eknomi. PT BPFE Yogyakarta, 2000, halaman 42

Jika kita mau belajar dari sejarah, globalisasi sebenarnya bukanlah fenomena baru dalam kancah panjang ekonomi Indonesia. Jauh hari sebelum muncul nation state, arus perdagangan dan migrasi lintas benua telah berlangsung sejak lama. Jauh hari sebelumnya, perdagangan regional juga telah membuat interaksi antarsuku bangsa terjadi secara alamiah, natural.
Dua dekade menjelang Perang Dunia I, arus uang internasional telah mempererat ikatan antara negara-negara Eropa dengan Amerika Serikat, Asia, Afrika, dan Timur Tengah. Pasar modal mengalami booming di kedua sisi Atlantik. Sementara itu, bank dan investor-investor swasta sibuk mendiversifikasikan portofolionya, dari Argentina terus melingkar Pasifik hingga ke Singapura. Namun demikian, sejalan dengan siklus ekonomi dan politik dunia, gelombang globalisasi pun juga mengalami pasang surut. Salah satu kekuatan yang melatarbelakangi adalah adanya tarik-menarik antara paham internasionalisme dengan paham nasionalisme atau bahkan dengan isolasionisme.
Dicermati dari segi intensitas dan cakupannya, sebenarnya gelombang globalisasi yang melanda seluruh dunia sejak dekade 1980-an telah jauh berbeda dari gelombang yang sama pada periode sebelumnya. Proses konvergensi akibat dari globalisasi dewasa ini praktis telah menyentuh hampir seluruh sendi kehidupan, yang tidak saja merambah di segala bidang (ekonomi, sosial, budaya, politik, dan ideologi), melainkan juga telah menjamah ke dalam tataran sistem, proses, pelaku, dan events. Sekalipun demikian, tidak berarti bahwa prosesnya selalu berjalan dengan mulus. Ada kecenderungan bahwa gelombang globalisasi yang dahsyat menerpa itu ternyata juga disertai dengan fragmentasi. 4)
4) Clark, Ian (1997). Globalization and Fragmentation: International Relations in the Twentieth Century. Oxford & London: Oxford University Press, halaman 1-2.
Dewasa ini, banyak ekonom dan kritisi yang memandang bahwa globalisasi merupakan keniscayaan sejarah, oleh karena itu terjangan arusnya tak mungkin dapat dibendung lagi. Pandangan semacam ini muncul sebagai reaksi atas pendapat sebagian ekonom yang justru prihatin terhadap kecenderungan perkembangan ekonomi dunia yang kian tak menentu dan sangat rentan dengan gejolak. Terutama akibat dari arus finansial global yang semakin "liar". Padahal, kita semua tahu bahwa tidak semua negara memiliki daya saing (dan daya tahan) yang cukup untuk terlibat langsung dalam kancah lalu-lintas finansial global, yang tak lagi mengenal batas-batas teritorial negara, dan cenderung semakin sulit untuk dikontrol oleh pemerintah sebuah negara yang berdaulat.
Globalisasi juga dikhawatirkan akan memunculkan suatu bentuk eksploitasi baru, yaitu eksploitasi oleh financial-driven economies terhadap good-producing economies. Kelompok pertama memiliki keleluasaan yang sangat besar dalam merekayasa bentuk-bentuk transaksi keuangan yang sifatnya "semu". Artinya, transaksi yang mereka lakukan sebenarnya tidak memberikan kontribusi produktif bagi peningkatan kesejahteraan riil masyarakat. Ini semua terjadi karena "uang" dan "aset finansial" lainnya saling diperdagangkan sebagaimana halnya sebuah komoditas. 5)
5) Michel Chossudovsky, The Globalisation of Poverty: Impacts of IMF and World Bank Reforms. London & New Jersey: Zed Books., 1997, halaman 332
Bagaimanapun juga, sektor finansial tidak pernah terlepas kaitannya dengan sektor riil. Keberadaan sektor finansial, dengan segala bentuk kerumitan instrumen dan berbagai lembaga keuangan yang menopangnya, tidak mungkin bisa berdiri sendiri. Sehebat dan secanggih apa pun sektor finansial itu, pada intinya mereka tetap merupakan fasilitator bagi eksistensi sektor riil.
Jika dalam kenyataan kini makin nampak bahwa kedua sektor ini telah mengalami lepas kaitan (decoupling), maka masyarakat tinggal menunggu waktu akan datangnya kehancuran peradaban. Atau (minimal) bersiap-siap untuk hidup dalam kegemerlapan artifisial dengan segala konsekuensinya. Oleh karena itu, tidak ada cara lain bagi kita untuk sungguh-sungguh mengupayakan terbentuknya suatu tatanan baru, yang menempatkan kembali sektor finansial pada fungsinya yang hakiki. Sayangnya, dewasa ini kita hidup dalam alam realitas yang sudah terlanjur menempatkan uang dan perangkat finansial lainnya sebagai suatu komoditas. Telah banyak negara yang tersungkur dan terseret oleh arus permainan kapitalisme finansial yang berperilaku semakin "buas". Suatu perekonomian yang menapaki tahap demi tahap perkembangan, yang telah ditumbuhkan oleh peluh keringat berjuta-juta rakyatnya, tiba-tiba saja bisa diluluh-lantakkan dalam sekejap dengan cara mengguncang nilai mata uangnya (Lenin=s dictum) hingga tersungkur tanpa kekuatan untuk membela diri. 6)
6) Milton Friedman, Capitalism and Freedom: The Classic statement of Milton Friedman=s Economic Philosophy, The University of Chicago Press, Chicago and London, 1982, halaman 39.
Sebetulnya, kesadaran akan bahaya kapitalisme dengan sosok seperti sekarang ini sudah mulai tumbuh. Di antaranya justru datang dari kalangan pemikir Barat sendiri, termasuk para pemikir di lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. 7) Anehnya, justru kesadaran seperti itulah yang saat ini kurang muncul di negara kita (dan negara berkembang pada umumnya) sehingga secara "sukarela" mereka mau menerjunkan diri ke dalam ajang permainan yang sangat "buas" ini.
7) Jeffrey E. Garten,"Why the Global Economy is Here to Stay." Business Week, March 23, Washington, 1998, halaman 9.
Pemikiran-pemikiran alternatif sebagaimana sudah sangat sering dilontarkan oleh ekonom seperti Prof. Dr. Mubyarto atau juga oleh para "ekonom kontemporer" lain seperti Hartojo Wignjowijoto, atau Prof. Dr. Sritua Arief, nampaknya perlu diwartakan dan ditawarkan kepada masyarakat dunia, untuk benar-benar menciptakan tatanan ekonomi yang lebih sehat. Tentu saja, gagasan bagi terbentuknya tatanan baru itu membutuhkan waktu dan pengkajian yang cermat. Target awal yang paling penting dari semua itu adalah memunculnya kesadaran masyarakat akan rapuh dan rentannya sistem yang berlaku sekarang ini.
Sistem ekonomi yang berlaku sekarang ini nyata-nyata telah mendorong perilaku konsumtif masyarakat dan telah menyeret begitu jauh perekonomian nasional untuk tumbuh secara instant. Hanya negara-negara kaya dengan perangkat kelembagaan ekonomi politik yang mantaplah yang bisa mengeliminasikan dampak-dampak negatif dari gelombang pergerakan finansial global ini.
Negara-negara yang kuat tidak perlu lagi bergelimangan peluh untuk menghasilkan barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan rakyatnya. Mereka cukup melakukan rekayasa finansial yang menghasilkan kemelimpahan dana untuk membeli berbagai macam kebutuhan fisiknya. Sebaliknya, negara-negara yang menghasilkan produk riil (barang) tidak pernah bisa menikmati hasil yang layak. Sebelum peluh mereka mengering, nilai uang riil yang dihasilkan itu telah disedot oleh gejolak kurs dan tercekik oleh tingginya suku bunga. Bukankah hidup di dunia seperti ini sungguh sangat berisiko bagi peradaban umat manusia itu sendiri?
Perilaku ekonomi yang "tidak wajar" seperti itu tidak hanya dilakukan oleh para aktor pasar finansial internasional seperti George Soros, tetapi juga telah meracuni para pelaku bisnis di Indonesia. Hampir semua imperium bisnis di Indonesia telah melakukan beragam rekayasa finansial, sehingga memungkinkan mereka menjelma dalam bentuk gurita konglomerasi secara instant. Langkah mereka semakin mulus setelah disangga oleh sistem politik yang otoriter dan birokrasi yang korup.

KRISIS EKONOMI
Di tengah dinamika ekonomi global yang terus-menerus berubah dengan akselerasi yang semakin tinggi sebagaimana digambarkan di atas, Indonesia mengalami terpaan badai krisis yang intensitasnya telah sampai pada keadaan yang nyaris menuju kebangkrutan ekonomi.
Krisis ekonomi - yang dipicu oleh krisis moneter - beberapa waktu yang lalu, paling tidak telah memberikan indikasi yang kuat terhadap tiga hal. Pertama, kredibilitas pemerintah telah sampai pada titik nadir. Penyebab utamanya adalah karena langkah-langkah yang ditempuh pemerintah dalam merenspons krisis selama ini lebih bersifat "tambal-sulam", ad-hoc, dan cenderung menempuh jalan yang berputar-putar.
Selain itu, seluruh sumber daya yang dimiliki negeri ini dicurahkan sepenuhnya untuk menyelamatkan sektor modern dari titik kehancuran. Sementara itu, sektor tradisional, sektor informal, dan ekonomi rakyat, yang juga memiliki eksistensi di negeri ini seakan-akan dilupakan dari wacana penyelamatan perekonomian yang tengah menggema.
Kedua, rezim Orde Baru yang selalu mengedepankan pertumbuhan (growth) ekonomi telah menghasilkan crony capitalism yang telah membuat struktur perekonomian menjadi sangat rapuh terhadap gejolak-gejolak eksternal. Industri manufaktur yang sempat dibanggakan itu ternyata sangat bergantung pada bahan baku impor dan tak memiliki daya tahan. Sementara itu, akibat "dianak-tirikan", sektor pertanian pun juga tak kunjung mature sebagai penopang laju industrialisasi. Yang saat itu terjadi adalah derap industrialisasi melalui serangkaian kebijakan yang cenderung merugikan sektor pertanian. Akibatnya, sektor pertanian tak mampu berkembang secara sehat dalam merespons perubahan pola konsumsi masyarakat dan memperkuat competitive advantage produk-produk ekspor Indonesia.
Salah satu faktor terpenting yang bisa menjelaskan kecenderungan di atas adalah karena proses penyesuaian ekonomi dan politik (economic and political adjustment) tidak berlangsung secara mulus dan alamiah. Soeharto-style state-assisted capitalism nyata-nyata telah merusak dan merapuhkan tatanan perekonomian. Memang di satu sisi pertumbuhan ekonomi yang telah dihasilkan cukup tinggi, namun mengakibatkan ekses yang ujung-ujungnya justru counter productive bagi pertumbuhan yang berkelanjutan.
Ketiga, rezim yang sangat korup telah membuat sendi-sendi perekonomian mengalami kerapuhan. Secara umum, segala bentuk korupsi akan mengakibatkan arah alokasi sumber daya perekonomian menjurus pada kegiatan-kegiatan yang tidak produktif dan tidak memberikan hasil optimum. Dalam kondisi seperti ini pertumbuhan ekonomi memang sangat mungkin terus berlangsung, bahkan pada intensitas yang relatif tinggi. Namun demikian, sampai pada batas tertentu pasti akan mengakibatkan melemahnya basis pertumbuhan.
Selanjutnya, praktik-praktik korupsi secara perlahan C tapi pasti C telah merusak tatanan ekonomi dan pembusukan politik yang disebabkan oleh perilaku penguasa, elit politik, dan jajaran birokrasi. Keadaan semakin parah ketika jajaran angkatan bersenjata dan aparat penegak hukum pun ternyata juga turut terseret ke dalam jaringan praktik-praktik korupsi itu.
Hancurnya kredibilitas pemerintah yang dibarengi dengan tingginya ketidakpastian itu telah menyebabkan terkikisnya kepercayaan (trust). Yang terjadi dewasa ini tidak hanya sekadar pudarnya trust masyarakat terhadap pemerintah dan sebaliknya, melainkan juga antara pihak luar negeri dengan pemerintah, serta di antara sesama kelompok masyarakat. Yang terakhir disebutkan itu tercermin dengan sangat jelas dari keberingasan massa terhadap simbol-simbol kekuasaan serta kemewahan dan terhadap kelompok etnis Cina, seperti yang dikenal dengan peristiwa Mei 1998.
Sementara itu, krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dapat dilihat dari respons masyarakat yang kerap kali berlawanan dengan tujuan kebijakan yang ditempuh pemerintah. Misalnya, kebijakan pemerintah yang seharusnya berupaya menggiring ekspektasi masyarakat ke arah kanan, justru telah menimbulkan respons masyarakat menuju ke arah kiri, dan sebaliknya. Faktor lainnya adalah semakin timpangnya distribusi pendapatan dan kekayaan, sehingga mengakibatkan lunturnya solidaritas sosial.
PENUTUP
Tumbangnya imperium konglomerasi membuat indikasi di atas semakin kuat. Bahwa sosok kerajaan bisnis yang dibangun di atas fondasi semu dan tumpukan utang, menjadi tidak berdaya menghadapi krisis ekonomi. Sampai titik ini pun, pemerintah nampaknya belum juga bangkit kesadarannya, bahwa menyelamatkan sektor modern dengan cara "habis-habisan" (all out dan at all cost) seperti yang terus dilakukan selama ini mengandung konsekuensi yang teramat riskan. Pemerintah masih terobsesi dan selalu disugesti seakan-akan hanya dengan sektor modern itulah bangsa berdaulat ini dapat kembali bangkit dari keterpurukannya.
Di luar semua itu, sesungguhnya terdapat kekuatan yang luar biasa yang justru telah menyelamatkan negeri ini dari kebangkrutannya, yaitu ekonomi rakyat. Di atas kertas, perekonomian bangsa ini seharusnya sudah "gulung tikar" sejak angka-angka statistik ekonomi pada periode krisis (1997-1999) menunjukkan kecenderungan yang terus memburuk. Nyatanya, kondisi "sekarat" itu hanya terjadi pada sektor-sektor yang memang mampu tercatat dan terefleksikan dalam angka-angka statistik itu. Di luar angka-angka itu, yang tidak mampu dicatat oleh sistem statistik yang ada, sesungguhnya masih menyimpan potensi, kekuatan, dan daya tahan yang sangat besar.
Akankah pemerintah masih terus-menerus menutup mata terhadap eksistensi ekonomi rakyat? Atau akan terus-menerus meyakini wacana yang selalu digembar-gemborkan oleh para ekonom Neo Klasik bahwa pertumbuhan yang terjadi saat ini adalah karena sumbangan konsumsi (driven consumption) orang-orang berduit? Kiranya sejarah telah membuktikan, bahwa memuja dan memanjakan sektor modern secara "membabi-buta" hanya akan menghasilkan konklusi akhir yang menyedihkan, yang rasa pahitnya tidak hanya dikecap oleh sekelompok orang, tetapi seluruh komponen bangsa ini akan turut merasakannya.
Bila bangsa ini cukup cerdas untuk menterjemahkan hikmah krisis ekonomi, secara tidak langsung (blessing in disguise) seharusnya peristiwa menyakitkan ini justru dapat menjadi pelajaran yang dipetik hikmahnya. Kesimpulannya, pengabaian (ignoring) eksistensi ekonomi rakyat dan sektor tradisional sudah tiba saatnya untuk segera dihentikan. Percayalah

Review Jurnal


Di tengah dinamika ekonomi global yang terus-menerus berubah dengan akselerasi yang semakin tinggi sebagaimana digambarkan di atas, Indonesia mengalami terpaan badai krisis yang intensitasnya telah sampai pada keadaan yang nyaris menuju kebangkrutan ekonomi.
Krisis ekonomi - yang dipicu oleh krisis moneter - beberapa waktu yang lalu, paling tidak telah memberikan indikasi yang kuat terhadap tiga hal. Pertama, kredibilitas pemerintah telah sampai pada titik nadir. Penyebab utamanya adalah karena langkah-langkah yang ditempuh pemerintah dalam merenspons krisis selama ini lebih bersifat "tambal-sulam", ad-hoc, dan cenderung menempuh jalan yang berputar-putar.
Selain itu, seluruh sumber daya yang dimiliki negeri ini dicurahkan sepenuhnya untuk menyelamatkan sektor modern dari titik kehancuran. Sementara itu, sektor tradisional, sektor informal, dan ekonomi rakyat, yang juga memiliki eksistensi di negeri ini seakan-akan dilupakan dari wacana penyelamatan perekonomian yang tengah menggema.
Kedua, rezim Orde Baru yang selalu mengedepankan pertumbuhan (growth) ekonomi telah menghasilkan crony capitalism yang telah membuat struktur perekonomian menjadi sangat rapuh terhadap gejolak-gejolak eksternal. Industri manufaktur yang sempat dibanggakan itu ternyata sangat bergantung pada bahan baku impor dan tak memiliki daya tahan. Sementara itu, akibat "dianak-tirikan", sektor pertanian pun juga tak kunjung mature sebagai penopang laju industrialisasi. Yang saat itu terjadi adalah derap industrialisasi melalui serangkaian kebijakan yang cenderung merugikan sektor pertanian. Akibatnya, sektor pertanian tak mampu berkembang secara sehat dalam merespons perubahan pola konsumsi masyarakat dan memperkuat competitive advantage produk-produk ekspor Indonesia.
Salah satu faktor terpenting yang bisa menjelaskan kecenderungan di atas adalah karena proses penyesuaian ekonomi dan politik (economic and political adjustment) tidak berlangsung secara mulus dan alamiah. Soeharto-style state-assisted capitalism nyata-nyata telah merusak dan merapuhkan tatanan perekonomian. Memang di satu sisi pertumbuhan ekonomi yang telah dihasilkan cukup tinggi, namun mengakibatkan ekses yang ujung-ujungnya justru counter productive bagi pertumbuhan yang berkelanjutan.
Ketiga, rezim yang sangat korup telah membuat sendi-sendi perekonomian mengalami kerapuhan. Secara umum, segala bentuk korupsi akan mengakibatkan arah alokasi sumber daya perekonomian menjurus pada kegiatan-kegiatan yang tidak produktif dan tidak memberikan hasil optimum. Dalam kondisi seperti ini pertumbuhan ekonomi memang sangat mungkin terus berlangsung, bahkan pada intensitas yang relatif tinggi. Namun demikian, sampai pada batas tertentu pasti akan mengakibatkan melemahnya basis pertumbuhan.
Selanjutnya, praktik-praktik korupsi secara perlahan C tapi pasti C telah merusak tatanan ekonomi dan pembusukan politik yang disebabkan oleh perilaku penguasa, elit politik, dan jajaran birokrasi. Keadaan semakin parah ketika jajaran angkatan bersenjata dan aparat penegak hukum pun ternyata juga turut terseret ke dalam jaringan praktik-praktik korupsi itu.
Hancurnya kredibilitas pemerintah yang dibarengi dengan tingginya ketidakpastian itu telah menyebabkan terkikisnya kepercayaan (trust). Yang terjadi dewasa ini tidak hanya sekadar pudarnya trust masyarakat terhadap pemerintah dan sebaliknya, melainkan juga antara pihak luar negeri dengan pemerintah, serta di antara sesama kelompok masyarakat. Yang terakhir disebutkan itu tercermin dengan sangat jelas dari keberingasan massa terhadap simbol-simbol kekuasaan serta kemewahan dan terhadap kelompok etnis Cina, seperti yang dikenal dengan peristiwa Mei 1998.
Sementara itu, krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dapat dilihat dari respons masyarakat yang kerap kali berlawanan dengan tujuan kebijakan yang ditempuh pemerintah. Misalnya, kebijakan pemerintah yang seharusnya berupaya menggiring ekspektasi masyarakat ke arah kanan, justru telah menimbulkan respons masyarakat menuju ke arah kiri, dan sebaliknya. Faktor lainnya adalah semakin timpangnya distribusi pendapatan dan kekayaan, sehingga mengakibatkan lunturnya solidaritas sosial.

Kesimpulan :

Jadi, Bila bangsa ini cukup cerdas untuk menterjemahkan hikmah krisis ekonomi, secara tidak langsung (blessing in disguise) seharusnya peristiwa menyakitkan ini justru dapat menjadi pelajaran yang dipetik hikmahnya. Kesimpulannya, pengabaian (ignoring) eksistensi ekonomi rakyat dan sektor tradisional sudah tiba saatnya untuk segera dihentikan. Percayalah.

Daftar Referensi:
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_3/artikel_4.htm

Nama kelompok 2EB10 :

DISTY MEDIAN VANIDA 22210099
FACHRURROZY 22210469
FERIZAH ARINA M 22210742
NIKE APRIANTI 24210978
YULIANA EKA PUTRI 28210752
WIBISONO SUPRAPTO 28210481

Sabtu, 10 Desember 2011

KOPERASI KREDIT

Artikel

Koperasi Kredit

Koperasi kredit atau Credit Union atau biasa disingkat CU adalah sebuah lembaga keuangan yang bergerak di bidang simpan pinjam yang dimiliki dan dikelola oleh anggotanya, dan yang bertujuan untuk menyejahterakan anggotanya sendiri.

Koperasi kredit memiliki tiga prinsip utama yaitu:

asas swadaya (tabungan hanya diperoleh dari anggotanya)
asas setia kawan (pinjaman hanya diberikan kepada anggota), dan
asas pendidikan dan penyadaran (membangun watak adalah yang utama; hanya yang berwatak baik yang dapat diberi pinjaman).



Sejarah

Sejarah koperasi kredit dimulai pada abad ke-19. Ketika Jerman dilanda krisis ekonomi karena badai salju yang melanda seluruh negeri. Para petani tak dapat bekerja karena banyak tanaman tak menghasilkan. Penduduk pun kelaparan.

Situasi ini dimanfaatkan oleh orang-orang berduit. Mereka memberikan pinjaman kepada penduduk dengan bunga yang sangat tinggi. Sehingga banyak orang terjerat hutang. Oleh karena tidak mampu membayar hutang, maka sisa harta benda mereka pun disita oleh lintah darat.

Kemudian tidak lama berselang, terjadi Revolusi Industri. Pekerjaan yang sebelumnya dilakukan manusia diambil alih oleh mesin-mesin. Banyak pekerja terkena PHK. Jerman dilanda masalah pengangguran secara besar-besaran.

Melihat kondisi ini wali kota Flammersfield, Friedrich Wilhelm Raiffeisen merasa prihatin dan ingin menolong kaum miskin. Ia mengundang orang-orang kaya untuk menggalang bantuan. Ia berhasil mengumpulkan uang dan roti, kemudian dibagikan kepada kaum miskin.

Ternyata derma tak memecahkan masalah kemiskinan. Sebab kemiskinan adalah akibat dari cara berpikir yang keliru. Penggunaan uang tak terkontrol dan tak sedikit penerima derma memboroskan uangnya agar dapat segera minta derma lagi. Akhirnya, para dermawan tak lagi berminat membantu kaum miskin.

Raiffeisen tak putus asa. Ia mengambil cara lain untuk menjawab soal kemiskinan ini. Ia mengumpulkan roti dari pabrik-pabrik roti di Jerman untuk dibagi-bagikan kepada para buruh dan petani miskin. Namun usaha ini pun tak menyelesaikan masalah. Hari ini diberi roti, besok sudah habis, begitu seterusnya.

Berdasar pengalaman itu, Raiffeisen berkesimpulan: “kesulitan si miskin hanya dapat diatasi oleh si miskin itu sendiri. Si miskin harus mengumpulkan uang secara bersama-sama dan kemudian meminjamkan kepada sesama mereka juga. Pinjaman harus digunakan untuk tujuan yang produktif yang memberikan penghasilan. Jaminan pinjaman adalah watak si peminjam.”

Untuk mewujudkan impian tersebutlah Raiffeisen bersama kaum buruh dan petani miskin akhirnya membentuk koperasi bernama Credit Union (CU) artinya, kumpulan orang-orang yang saling percaya.

Credit Union yang dibangun oleh Raiffeisen, petani miskin dan kaum buruh berkembang pesat di Jerman, bahkan kini telah menyebar ke seluruh dunia.











Review Jurnal

Koperasi Kredit

Koperasi Kredit mempunyai tujuan yang sama dengan koperasi biasa yaitu ingin mensekahterakan anggotanya.

Dan juga memilki 3 prinsip yaitu :

Asas swadaya yaitu dimana tabungan hanya di diperoleh dari anggota koperasi tsb
Asas setia kawan yaitu dimana pinjaman hanya diberikan kepada anggota yg membutuhkan.
Asas pendidikan dan penyadaran yaitu dimana jika kita berwatak baik maka akan diberikan pinjaman. Jadi termasuk juga mendidik dalam berperilaku.



Koperasi kredit ini bermula pada abad ke-19 dijerman saat krisis ekonomi terjadi. Situasi ini dimanfaatkan oleh orang-orang berduit untuk memberikan pinjamana kepada rakyat miskin dengan bungan yg sangat tinggi apabila tidak sanggup membayar makan barang-barang miliknya akan disita. Ditambaha lagi setelah revolusi industri yang dimanaseluruh pekerjaan para peani digantikan oleh mesin-mesin canggih yag mengakibatkan pengangguran besar-besaran.

Karena kondisi yang sangat memprihatinkan tersebut walikota dari kota tersebut Friedrich Wilhelm Raiffeisen mengumpulkan kaum-kaum bangsawan dan mengumpulkan dan bahkan makanan yang lalunya dibagikan ke rakyat miskin tersebut.

Namun kebaiakn tersebut tidak dapat memecahkan kemiskinan tersebut sebab kebaikan para kaum bangsawaan tersebut secara langsung dimanfaatkann oleh kaum miskin mereka dengan cepat menghabisakan dana tersebut lalu kemudian meminta lagi. Denan begitu para bangsawan dermawn tersbut tidak mau membantu lagi.

Berdasarakan kejadian tersebut makan sang walikota mengambil kesimpulan bahwa kemiskinan tersebuut hanya bisa di atasi oleh si miskin itu sendiri. Dengan cara mengumpulkan dana secara bersama yang nantinya akan dipinjamkan kesesama juga. Dengan syarat pinjaman harus mempunyai tujuan produktif yang dapat memberikan penghasilan. Dan jaminanya adalah watak sipeminjam. Lalu dibentuk lah koperasi kredit atau yang disebut dengan Credit Union (CU) . lalu petani miskin berkembang dengan pesat perkonomiannya berkkat koperasi kredit tersebut yag sekarang juga berkembang diseluruh dunia.





Kesimpulan :

Jadi koperasi kredit itu didirikan untuk mensejahterakan anggotanya yang dulu hanyalah beberapa rakyat miskin dan pengangguran. Tapi saat ini koperasi kredit sudah berkembang keseluruh dunia.



Daftar referensi :

http://id.wikipedia.org/wiki/Koperasi_kredit







Nama kelompok 2EB10 :
DISTY MEDIAN VANIDAØ 22210099
FACHRURROZYØ 22210469
FERIZAH ARINA MØ 22210742
NIKE APRIANTIØ 24210978
YULIANA EKA PUTRIØ 28210752
WIBISONO SUPRAPTO 28210481

Perkembangan Koperasi Tani dan Nelayan di Indonesia

Jurnal

Perkembangan Koperasi Tani dan Nelayan di Indonesia

Written by baskoro Wednesday, 03 August 2011 11:33

Meskipun koperasi pertanian pernah menjadi model pengembangan pada tahun 1960an hingga awal tujuh puluhan, namun pada dasarnya koperasi pertanian di Indonesia diperkenalkan sebagai bagian dari dukungan terhadap sektor pertanian. Sejak dahulu sektor pertanian di Indonesia selalu didekati dengan pembagian atas dasar sub-sektor seperti pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan. Cara pengenalan dan penggerakan koperasi pada saat itu mengikuti program pengembangan komoditas oleh pemerintah. Sehingga terlahir koperasi pertanian, koperasi kopra, koperasi karet, koperasi nelayan dan lain-lain. Dua jenis koperasi yang tumbuh dari bawah dan jumlahnya terbatas ketika itu adalah koperasi peternakan sapi perah dan koperasi tebu rakyat.

Kedua-duanya mempunyai ciri yang sama yaitu menghadapi pembeli tunggal pabrik gula dan konsumen kota. Pada sub sektor pertanian tanaman pangan yang pernah diberi nama “pertanian rakyat” praktis menjadi instrumen untuk menggerakkan pembangunan pertanian, terutama untuk mencapai swasembada beras. Hal serupa juga di ulang oleh pemerintah Orde Baru dengan mengaitkan dengan pembangunan desa dan tidak lagi terikat ketat dengan Departemen Pertanian seperti pada masa Orde Lama dan awal Orde Baru. Tugas koperasi pertanian ketika itu adalah menyalurkan sarana produksi pertanian terutama pupuk, membantu pemasaran yang kesemuanya berkaitan dengan program pembangunan sektor pertanian dan “pengerakannya” kepada koperasi selalu apabila gagal dilaksanakan sendiri atau langsung oleh pemerintah, contoh padi sentra, kredit BIMAS hingga distribusi pupuk.

KUD sebagai koperasi berbasis wilayah jumlahnya hanya 8620 unit dan pendiriannya memang tidak terlalu luas. Hingga menjelang dicabutnya Inpres 4/1984 KUD hanya mewakili 25% dari jumlah koperasi yang ada ketika itu, namun dalam hal bisnis mereka mewakili sekitar 43% dari seluruh volume bisnis koperasi di Indonesia. KUD meskipun bukan koperasi pertanian namun secara keseluruhan dibandingkan koperasi lainnya tetap lebih mendekati koperasi pertanian dan karakternya sebagai koperasi berbasis pertanian juga sangat menonjol.

Diantara koperasi yang ada di Indonesia yang jumlahnya pada saat ini lebih dari 103 ribu unit, KUD termasuk yang mempunyai jumlah KUD aktif tertinggi yaitu 92% atau sebanyak 7931 unit KUD pada saat ini tidak berbeda dengan koperasi lainnya dan tidak memperoleh privilege khusus, tidak terikat dengan wajib ikut program sektoral, sehingga pada dasarnya sudah menjadi koperasi otonomi yang memiliki rata-rata anggota terbesar.

Koperasi pertanian yang digerakan melalui pengembangan kelompok tani setelah keluarnya Inpres 18/1998 mempunyai jumlah yang besar, namun praktis belum memiliki basis bisnis yang kuat dan mungkin sebagian sudah mulai tidak aktif lagi. Usaha mengembangkan koperasi baru di kalangan tani dan nelayan selalu berakhir kurang menggembirakan. Mereka yang berhasil jumlah terbatas dan belum dapat dikategorikan sebagai koperasi pertanian sebagai mana lazimnya koperasi pertanian di dunia atau bahkan oleh KUD-khusus pertanian yang ada.

Tinjauan Peran pertanian Saat Ini dan Masa Depan

Posisi sektor pertanian sampai saat ini tetap merupakan penyedia lapangan kerja terbesar dengan sumbangan terhadap pembentukan produksi nasional yang kurang dari 19%. Jika dimasukkan keseluruhan kegiatan off form yang terkait dan sering dinyatakan sebagai sektor agribisnis juga hanya mencakup 47%, sehingga dominasi pembentukan nilai tambah juga sudah berkurang dibandingkan dengan sektor-sektor di luar pertanian. Isue peran pertanian sebagai penyedia pangan, bentuk ketahanan pangan juga menurun derajat kepentingan nya.

Ditinjau dari unit usaha pertanian terdapat 23,76 juta unit atau 59% dari keseluruhan unit usaha yang ada. Disektor pertanian hanya terdapat 23,76 juta usaha kecil dengan omset dibawah 1 miliar/tahun dimana sebagian terbesar dari usaha tersebut adalah usaha mikro dengan omset dibawah Rp. 50 juta/thn. Secara kasar dapat diperhitungkan bahwa hanya sekitar 670 ribu unit usaha kecil di sektor pertanian yang bukan usaha mikro, oleh karena itu daya dukungnya sangat lemah dalam memberikan kesejahteraan bagi para pekerja.

Sementara itu penguasaan tanah berdasarkan sensus pertanian 1993 sekitar 43% tanah pertanian berada di tangan 13% rumah tangga dengan pemilikan diatas 1 hektar saja. Sehingga petani besar sebenarnya potensial dilihat sebagai modal untuk menjadi lokomotif pembangunan pertanian. Problematika sektor pertanian di Indonesia yang akan mempengaruhi corak pengembangan koperasi pertanian dimasa depan adalah issue kesejahteraan petani, peningkatan produksi dalam suasana desentralisasi dan perdagangan bebas. Bukti empiris di dunia Mengungkapkan bahwa pertanian keluarga tidak mampu menopang kesejahteraan yang layak setara dengan sektor lainnya dalam suasana perdagangan bebas.

Thema ini menjadi penting untuk melihat arah kebijakan pertanian dalam jangka menengah dan panjang, terutama penetapan pilihan sulit yang melilit sektor pertanian akibat berbagai Rasionalisasi. Kelangsungan hidup koperasi pertanian dimasa lalu sangat terkait politik reservasi tersebut, dan ke depan hal ini juga akan sangat menentukan. Untuk melihat posisi koperasi secara kritis perlu didasarkan pada posisi sektor pertanian yang semakin terbuka dan bebas.

Dengan dasar bahwa proses liberalisasi perdagangan yang berdampak pada sektor pertanian dalam bentuk dihapuskan kebijakan perencanaan pertanian yang kaku dan terpokus. Sehingga pengekangan program pembangunan pertanian tidak mungkin lagi dijalankan secara bebas, tetapi hanya dapat dilakukan secara lokal dan harus sesuai dengan potensi lokal. Olah karena itu prinsip pengembangan pertanian akan lebih bersifat insentif driven ketimbang program driven seperti dimasa lalu. Dengan demikian corak koperasi pertanian akan terbuka tetapi untuk menjamin kelangsungan hidupnya akan terbatas pada sektor selektif yang memenuhi persyaratan tumbuhnya koperasi.

Gambaran Kondisi Koperasi di Masa Depan

Perkembangan koperasi pertanian ke depan digambarkan sebagai “restrukturisasi” koperasi yang ada dengan fokus pada basis penguatan ekonomi untuk mendukung pelayanan pertanian skala kecil. Oleh karena itu konsentrasi ciri umum koperasi pertanian di masa depan adalah koperasi kredit pedesaan, yang menekankan pada kegiatan jasa keuangan dan simpan pinjam sebagai ciri umum.

Pada saat ini saja hampir di semua KUD, unit simpan pinjam telah menjadi motor untuk menjaga kelangsungan hidup Koperasi. Sementara kegiatan pengadaan sarana produksi dan pemasaran hasil menjadi sangat selektif. Hal ini terkait dengan struktur pertanian dan pasar produk pertanian yang semakin kompetitif, termasuk jasa pendukung pertanian (jasa penggilingan dan pelayanan lainnya) yang membatasi insentif berkoperasi. Koperasi Nelayan karena kekuatan utamanya terletak pada kekuatan monopoli penguasaan pendaratan dan lelang oleh pemerintah, akan sangat di tentukan oleh policy daerah hak itu akan diberikan kepada siapa ?

Pemerintah daerah juga potensial untuk melahirkan pesaing baru dengan membangun pendaratan baru. Dengan pengorganisasian atas dasar kesamaan tempat pendaratan pada dasarnya kekuatannya terletak pada daya tarik tempat pendaratan. Persoalan yang dihadapi koperasi nelayan ke depan adalah alih fungsi dari “nelayan tangkap” menjadi “nelayan budidaya”, karena hampir sebagian terbesar perairan perikanan pantai sudah di kategorikan overfishing. Fenomena ini juga terjadi di negara seperti Canada, Korea Selatan dan Eropa dimana koperasi nelayan sedang menghadapi situasi surut. Koperasi perkebunan tetap mempunyai prospek yang bagus terutama yang terkait dengan industri pengolahan. Namun dalam situasi kesulitan menarik investasi karena kurangnya insentif, kebangkitan ini akan tertunda.

Potensi besar sektor perkebunan untuk memanfaatkan kelembagaan koperasi dapat direalisasi dengan dukungan restrukturisasi status aset anggota dalam koperasi atau pengenalan konsep “saham” sebagai equity dibanding “simpanan” yang tidak transferable. Koperasi di sub sektor peternakan terutama peternakan sapi perah apapun kebijakan yang ditempuh akan mampu berkembang dengan karakter koperasi yang kental. Prasyarat untuk memajukan koperasi di bidang persusuan ini dalam menghadapi persaingan global antara lain:

Bebaskan anggota yang ada hingga usahanya minimal skala mikro atau minimal 10 ekor/anggota.
Bebaskan setiap koperasi hingga mencapai satuan yang layak sebagai kluster peternakan minimal 15.000liter/hari dan idealnya menuju pada 100.000 liter/hari.
Integrasi untuk konsep pertanian dan peternakan agar menjamin kesatuan unit untuk meningkatkan kepadatan investasi pertanian.
Untuk kegiatan pertanian lainnya agar lebih berhati-hati untuk mengenalkan konsep koperasi ke dalam kegiatan pertanian. Persyaratan usaha masing-masing anggota, kesesuaian struktur pasar dan keterkaitan jangka panjang antara bisnis anggota dan kegiatan koperasi akan tetap menjadi pertimbangan kepentingan untuk menumbuhkan koperasi pertanian. Pada akhirnya daerah otonom sebagai suatu kesatuan administrasi harus dilihat sebagai basis pemusatan koperasi.







Review Jurnal



Koperasi pertanian didirikan oleh pemerintah untuk mendukung terhadap sektor pertanian. Yang didekati dengan pembagian sub-sektor sperti pertanian pangan, perkebunan perternakan dan perikanan.

Tugas koperasi pertanian ketika itu adalah menyalurkan sarana produksi pertanian terutama pupuk, membantu pemasaran yang kesemuanya berkaitan dengan program pembangunan sektor pertanian dan “pengerakannya” kepada koperasi selalu apabila gagal dilaksanakan sendiri atau langsung oleh pemerintah, contoh padi sentra, kredit BIMAS hingga distribusi pupuk antara KUD dengan koperasi pertanian bisa dikatakan saling meenonjol diantara koperasi lainnya.

Koperasi pertanian yang didirikan melalui pengembangan kelompok tani stelah keluarnya inpres 18/1998 masih sangat luas dan jumlahnnya juga masih sangat besar. Namus secara praktid mungkkin belum berbasis bisnis yang kuat yangg munngkin sebagian sudah tidak aktif lagi.

Koperasi yang dikembangkan dikalangan petani atau nelayan selalu aja bisa dikatakan sebagai kabar yang kuurang membahagiakan atau gagal. Dan sebagain kecil dari mereka yang berhasil juga belum dapat dikategorikan sebagai koperasi petani yang lazim didunia.

Sampai saat ini posisi sektor pertanian masih menempati sebagai penyedia lapangan kerja terbesar.

Ditinjau dari unit usaha pertanian terdapat 23,76 juta unit atau 59% dari keseluruhan unit usaha yang ada. Disektor pertanian hanya terdapat 23,76 juta usaha kecil dengan omset dibawah 1 miliar/tahun dimana sebagian terbesar dari usaha tersebut adalah usaha mikro dengan omset dibawah Rp. 50 juta/thn

Perkembangan koperasi pertanian untuk kedepannya dilakukan dengan sangat fokus untuk mendukung kalangan pertanian skla kecil.

Maka dari itu koperasi pertanian dimasa depan menekankan kegiatan jasa keuangan dan simpan pinjam sebagai ciri umum.

Prasyarat untuk memajukan koperasi menghadapi persaingan global antara lain:

Bebaskan anggota yang ada hingga usahanya minimal skala mikro atau minimal 10 ekor/anggota.
Bebaskan setiap koperasi hingga mencapai satuan yang layak sebagai kluster peternakan minimal 15.000liter/hari dan idealnya menuju pada 100.000 liter/hari.
Integrasi untuk konsep pertanian dan peternakan agar menjamin kesatuan unit untuk meningkatkan kepadatan investasi pertanian.
Untuk kegiatan pertanian lainnya agar lebih berhati-hati untuk mengenalkan konsep koperasi ke dalam kegiatan pertanian. Persyaratan usaha masing-masing anggota, kesesuaian struktur pasar dan keterkaitan jangka panjang antara bisnis anggota dan kegiatan koperasi akan tetap menjadi pertimbangan kepentingan untuk menumbuhkan koperasi pertanian. Pada akhirnya daerah otonom sebagai suatu kesatuan administrasi harus dilihat sebagai basis pemusatan koperasi.





Kesimpulan :

Koperasi pertanian didirikan bukan hanya untuk tani juga untuk nelayan, perkebunan, bahkan perternakan.

Daftar Referensi :

http://dinkopumkm.grobogan.go.id/artikel/59-perkembangan-koperasi-tani-dan-nelayan-di-indonesia.html



Nama kelompok 2EB10 :
DISTY MEDIAN VANIDAØ 22210099
FACHRURROZYØ 22210469
FERIZAH ARINA MØ 22210742
NIKE APRIANTIØ 24210978
YULIANA EKA PUTRIØ 28210752
WIBISONO SUPRAPTO 28210481